OPINI — Tinggal di rumah, bekerja di rumah adalah fenomena perubahan sosial. Beraktualisasi diri tidak mesti berhadapan dan bertatapan langsung, transaksi saat melakukan perjanjian terkadang dengan sistem online. Perubahan ini serta merta mengundang para ahli fiqhi (fuqaha) mazhab Syafi’iyah untuk mereinterpretasi persyaratan mutlak atas sahnya ijab dan qabul, bahwa pelakunya (subyek hukum) berada pada tempat yang sama “al khiyar fi al majlis”.
Aplikasi chat yang menyatukan dalam sebuah komunitas boleh jadi suatu ketika disepakati sebagai satu majelis dengan menetapkan kriteria kreadibilitas dan validitasnya, sehingga mazhab fiqh ini masih tetap beriringan dengan perubahan sosial.
Anggaplah sebagai “Konstruksi dogmatis” oleh fuqaha (para ahli fiqh) dengan tetap mempertahankan pendapat ulama terdahulu, dan menjadikannya sebagai acuan untuk menjawab problematika sosial baru, atau dalam perspektif hukum dinamakan yurisprudensi. Metode (منهج) ini diibaratkan mengkonstruk bangunan yang tidak mesti diratakan dengan tanah lalu diganti dengan bangunan baru, tapi perubahan dilakukan dengan merenovasi dengan tetap mempertahankan tekstur bangunan lama.
Gaya ber fiqh seperti di atas butuh terhadap orang yang memiliki potensi keilmuan yang meng-general. Artinya mereka dituntut untuk memahami ilmu -ilmu alat (instrumen melakukan istinbath hukum) seperti Ilmu Nahw, Sharaf, Balagha, Majaz, Musthalah al Hadits, Sabab al Nuzul, Ulum al Qur’an dll. Di samping itu mereka juga mesti menguasai ilmu pendukung lain, agar mampu membaca realitas sosial ekonomi, budaya, politik, hukum dll. Inilah yang kemudian memperkenalkan manhaj (metode) al fiqh al waqi’ (الفقه الواقع).
Ibnu al Qayyim al Jauziyah memberikan contoh dalam penggunaan metode ini, ketika para ahli fatwa diminta untuk menyelesaikan kasus tuduhan pemerkosaan atas Nabi Yusuf as terhadap Imra’ah al Aziz. Mufti ketika itu menyarankan agar sebelum memutuskan kasus tersebut, lebih awal mempelajari alat bukti hukum (قرينة). Sebagaimana dalam QS. Yusuf: 26 Allah swt berfirman.
إن كان قميصه قد من قبل فصدقت وهو من الكاذبين ( 26 ) وإن كان قميصه قد من دبر فكذبت وهو من الصادقين ( 27 ) فلما رأى قميصه قد من دبر قال إنه من كيدكن إن كيدكن عظيم
Terjemahnya
Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika bajunya terkoyak di bagian belakang itu menandakan bahwa Yusuf lah yang benar, karena wanita itu tadi merayunya dan Yusuf berusaha melarikan diri darinya, maka wanita itulah yang berdusta. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar”.
Sampel (الامتثال) dalam ayat ini memberikan peluang untuk mempelajari fakta atau realitas dari sesuatu yang akan diberikan putusan atasnya. Fakta terkoyaknya baju bagian belakang membuktikan bahwa Nabi Yusuf benar. Selanjutnya, agar tidak jauh melenceng dari ruh tujuan syari’ahnya ketika menggunakan metode ini, maka mesti dipertimbangkan pendapat ulama mazhab sebelumnya.
Sosial distancing dengan tujuan pemutusan mata rantai virus covid 19 ternyata tidak berpengaruh terhadap pendapat dari para imam mazhab, fenomena perubahan tidak berarti bahwa mata rantai pendapat atau paham imam madzhab juga ikut terputus. Fiqh al waqi’ meletakkan dasar untuk mengkonstruk hukum dalam Islam, masih tetap melakukan pengaplikasian nilai-nilai lama terhadap persoalan baru.
Sumbangsih dari metode ini, memberikan karakter elastisitas dari kemampuan interpretasi terhadap dogma, dengan bukti bahwa ajarannya selalu sesuai dengan zaman (صالح لكل زمان). Karenanya, semakin jelaslah keuniversalannya, keberlakuan nilai-nilai ajaranya tidak terikat dengan waktu atau fase tertentu, bahkan akan memberikan solusi atas problematika sepanjang zaman.
Dengan demikian, merebaknya virus covid 19 menggiring pada perubahan besar, ruangan sokolah, kantor, tokoh, pasar dan beberapa layanan umum lainnya, sebelumnya diameter volumenya besar, sekarang tinggal seukuran handphone (HP). Akhirnya perubahan ini secara teoritis berdampak pada disintegrasi sosial. Karena itu perlu disikapi secara positif dengan beberapa langkah seperti yang dikutip dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas sebagai berikut:
1. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
2. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
3. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
5. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. (*)