OPINI–Pakar Epidemiologi umumnya mengatakan bahwa penanganan pandemi Covid 19 hingga sekarang ini belum membuahkan hasil maksimal. Kendati pun demikian, pemerintah dalam kurung waktu dekat ini akan mengeluarkan kebijakan solutif tentang sikap hidup akur berdampingan dengan virus Covid 19.
Paradigma ini muncul pasca memuncaknya phobia dengan sikap konfrontatif. Melalui jargon “lawan Corona” diharapkan menjadi motivasi bagi masyarakat untuk melakukan social distance, phisical distance, stay at home dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Psikologi medisnya, paling tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk menghindari adanya kesenjangan antara pikiran dan perilaku, aga mereka bertindak lebih efektif dalam menekan dan membatasi pandemi covid 19 hingga ditemukannya vaksin tepat.
Rentetan kebijakan tersebut diakui berefek pada tidak stabilnya interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan agama, yang menjadi full power dalam stabilitas politik di suatu negara. Isu-isu tersebut akan rentang melahirkan konflik atas tuduhan kegagalan penanganan oleh pemerintah, hingga profokasi tuntutan mundur melalui media sosial.
Strategi selanjutnya adalah sikap kooperatif dengan jargon “the new normal” yakni lebih menekankan kepada kesiapan individu terhadap aktivitas di luar rumah meski persebaran virus covid 19 belum terkendali. Terma ini kedengarannya sederhana namun sangat mempengaruhi psikologi masyarakat yang awalnya tercekam rasa takut dan khawatir, berubah drastis dengan terkonstruknya keberanian dan semangat hidup.
Perubahan kebijakan tersebut menuai kecurigaan akan sebuah konspirasi yang secara sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu, bekerja secara terorganisir, melakukan perekayasaan sosial dengan cara memperdayai dan mengaburkan fakta, dan dilaksanakan oleh sekelompok rahasia dari orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa dan berpengaruh.
Klaim ini sepenuhnya tidak benar namun ketika dikaitkan dengan teori kebijakan hukum oleh Satjipto Rahardjo disebutkan bahwa hukum merupakan sarana rekayasa sosial (social engineering) yang memiliki kekuatan untuk memaksa, sehingga masyarakat akan terbentuk sesuai dengan tujuan dan manfaat dilegislasikannya hukum
Artinya, kebijakan hukum bukan hanya mengukuhkan norma atau kaidah kebiasaan dan tingkah laku masyarakat, melainkan merekayasa dan menginovasi sosial untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak patut, dan menciptakan pola-pola kelakuan baru.
Karena itu, histori kepemimpinan di saat melakukan perubahan, umumnya disertai dengan pemberian simbol nama atas arah perubahan. Di Indonesia diperkenalkan dengan era atau orde dengan karakter perubahan berbeda, sehingga klaim kesuksesan dan kegagalan biasanya disimbolkan dengan era atau orde tanpa menyebut pelakon.
Era new normal merupakan fase pemerintahan yang akan menerapkan tatanan normal baru dengan ketentuan standar oprasional kesehatan saat beraktivitas di tempat yang ramai dikunjungi. Imbauan ini dituangkan dalam bentuk yuridis formal dengan sanksi atas pelanggaran kebijakan new normal. Delik ini adalah bagian dari pidana, terutama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), tertuang dalam Surat Edaran Menteri PANRB No. 58/2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru.
Unsur pidana di pertegas pada poin c tentang sanksi atas pelanggaran ASN mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Tujuan kebijakan dalam peraturan pemerintah ini adalah untuk mengaktifkan dan meningkatkan kualitas layanan di tengah pandemi Covid 19.
Dengan demikian rekayasa sosial (social engineering) oleh penguasa tidak boleh di giring pada prasangka buruk dengan menganggap sebagai bentuk konspirasi terhadap komunitas, suku dan agama, karena putusan kebijakan dilakukan dengan alasan ilmiah untuk menopang eksistensi politik negara untuk kepentingan rakyat.(*)