OPINI — Pendapat Kepala BPKP SULSEL DIDIK KRISDIYANTO Tgl 30 APRIL 2018 di media Makassar terkini, bukannya keliru tapi teras belum lengkap. Beliau menuturkan pendapatnya antara lain sebagai berikut:
” …pak walikota Parepare (Taufan Pawe) mengkosultasikan Rastra ini ke – BPKP, itu sudah lama. Waktu itu pak wali bilang mau menambah 5 kg dari ketentuan pusat 10 kg saya bilang boleh saja asal dana ada dan disetujui di APBD serta tidak menambah jumlah penerima. …sepanjang untuk kesejahteraan masyarakat”.
Pernyataan tersebut diatas menuai teka teki, antara lain :
-1-, Semestinya kepala BPKP menjelaskan secara terang , jelas dan lengkap tentang ” WALIKOTA SUDAH LAMA (TAUFAN PAWE) MENGKOSULTASIKAN KE- BPKP “. Karena penafsiran waktu ” sudah lama” itu sangat sulit dimaknai , sebab pengertian ” sudah lama ” tidak memilki takaran yang kongkrit dan objektif. Menunggu seseorang sejam saja ditempat tertentu terasa lama sekali rasanya tetapi menunggu setahun untuk menunaikan ibadah haji terasa singkat rasanya. Ada kemungkinan maksud tersirat dari kepala BPKP SULSEL bahwa penambahan jatah Rastra 5 kg pemda Parepare adalah program lama , jadi hal itu bukan merupakan pelanggaran hukum pilkada. Bila benar itu maksud beliau, maka jawaban itu lebih mumpuni dibandingkan argumen seorang
kuasa hukum.
Tentu kita paham semua bahwa antara “WAKTU KONSULTASI dengan MASA PELAKSANAAN PROGAM ” adalah berbeda. Artinya waktu konsultasi itu tidak mencerminkan masa pelaksanaan program . Contoh kongkretnya seorang SATPAM sejak 3 tahun lalu mendaftar dan terima dikantor tersebut, tapi nanti pada tahun ke 4 baru bertugas sebagai SATPAM dikantor tersebut. Tentunya SATPAM tersebut terhitung melaksanakan tugas pada tahun ke-4 , bukan sejak 3 tahun yang lalu. Begitu pula dengan waktu konsultasi penambahan Rastra 5 kg bisa saja sudah lama, pelaksanaan program tersebut dilapangan yang menjadi tolak ukur.
Pertemuan/konsultasi antara kepala BPKP SULSEL DIDIK KRISDIYANTO dengan walikota Parepare Taufan Pare yang sifatnya tanya jawab secara lisan. Hasil pertemuan tersebut terasa sulit dipahami sebagai pertemuan resmi antara lembaga pemerintahan/ negara yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum sah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Mengingat UU NO 12 TAHUN 2011 telah mengatur secara terang, jelas dan lengkap tentang peraturan perundang undangan yang dapat dijadikan landasan/ dasar hukum yang sah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Betapa tidak, undangan rapat pemilihan RT atau RW saja terasa tidak sah undangannya bila hanya di sampaikan secara lisan saja. Apalagi yang namanya konsultasi antara lembaga pemerintah yang sifatnya formal.
Pernyataan …” asal ada dananya ada di APBD” , seolah seolah pernyataan tersebut menggambarkan semua program yang terdapat di APBD sudah terbebas dari aturan hukum lain dalam pelaksanaannya. APBD adalah produk hukum dari PERDA. Padahal PERDA dalam UU NO. 12 TAHUN 2011 Pasal 7 (1) adalah urutan terakhir dalam jenis dan hirarki peraturan perundang undangan. Ditahun politik atau pilkada serentak, maka PERDA APBD haruslah disesuaikan dengan Peraturan pilkada.
Sekalipun suatu program terdapat di APBD , bukan berarti dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan pelanggaran hukum. Contohnya pembangun jalanan masuk desa, sebenarnya ada jalur yang tepat untuk pembangunan jalan itu dan biayanya murah. Tetapi sengaja menempuh jalur yang rumit , panjang dan biayanya cukup banyak menguras APBD, karena kepentingan pribadi yang menonjol yaitu tanah perkebunannya menjadi strategis posisinya.
Sebenarnya UU NO 10 TAHUN 2016 Pasal 71 ayat 3 jo. PKPU NO 4 TAHUN 17 Pasal 69 ayat 3, 4 dan 6 mengandung kaidah hukum :
– 1-. Kaidah umum , kepala daerah atau wakil kepala daerah boleh menjalakan kewenangan, program atau kegiatan, tanpa terikat dengan Peraturan pilkada tersebut.
2. Kaidah yang sifatnya fakultatif, artinya kepala daerah atau wakil kepala daerah terdapat pilihan , apakah akan mengikat dirinya dengan Peraturan pilkada ( menjadi calon) atau membebaskan diri (Tidak menjadi calon).
-3-. Kaidah imperatif yaitu mendaftar menjadi calon berarti secara khusus harus taat dan patuh peraturan pilkada termasuk UU NO.10 TAHUN 2016 Pasal 71 ayat 3 jo. PKPU NO 4 TAHUN 2017 Pasal 69 ayat 3 dan 6.
Jadi terang dan jelas bahwa petahana yang melakukan kewenangan, program atau kegiatan yang sifatnya baru dilaksanakan menjelang penetapan calon ( termasuk dalam tenggang waktu 6 bulan) adalah merupakan pelanggaran peraturan pilkada
Penulis dalam hal ini, tidak bermaksud membangun konstruksi hukum pembuktian sehubungan dengan dugaan pelanggaran peraturan pilkada yang menyandera paslon nomor 1 Parepare. Justeru itu penulis tidak mengurai/ menjelaskan dalam analisis ini mengenai materi pokok perkara. Penulis hanya sebatas mengalisis penòmena hukum yang terangkat kepermukaan publik.
(M.NASIR DOLLO. KETUA YLBH SUNAN ) Parepare 1 Mei 2018.