PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Koalisi Masyarakat Anti Mafia Hukum (KoMAH) Kota Parepare, Sulawesi Selatan menggelar aksi damai terkait keputusan Mahkamah Agung (MA), Rabu 23 Mei 2018.
Kedatangan koalisi masyarakat ini guna pertanyaan putusan MA ke KPU, sebab telah beredar kabar dan berita adanya putusan MA yang menganulir diskualifikasi Paslon nomor satu Taufan-Pangerang pada Pilwalkot Parepare.
“Kami datang dengan damai ingin meminta kejelasan berita yang katanya keputusan MA. Jangan sampai berita ini menyesatkan masyarakat, sebab hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari KPU selaku penyelenggara Pilkada,” ujar Toba saat berorasi di depan Kantor KPU Parepare.
Orator lainnya, Sappe, juga menilai, jika keputusan itu benar maka ia menilai MA telah melanggar Peraturan Mahkamah Agung (PerMA). Sappe juga meminta KPU betul-betul mempelajari dan mencermati keputusan MA tersebut bila memang ada.
“Masyarakat telah melaporkan dua kasus ke Panwaslu, yakni kasus pemanfaatan Rastra dan mutasi pejabat. Sehingga perlu ada pencermatan terhadap keputusan dari MA jika memang itu telah ada,” katanya.
Pengunjuk rasa juga meminta kepada KPU untuk terbuka bila memang telah menerima amar keputusan tersebut. “Mengherankan jika ini diterima padahal kasus tersebut mirip dengan kasus di Pilwalkot Makassar, dimana Paslon Danny-Indira didiskualifikasi karena kasus yang mirip, yakni memanfaatkan program,” ujar Sappe.
Ketua KPU Parepare, Nur Nahdiyah yang menerima perwakilan unjukrasa mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menerima isi amar keputusan dari MA secara resmi. “Kami masih menunggu amar keputusan dari MA terkait hal ini,” singkatnya kepada awak media usai menerima perwakilan penunjukrasa.
Sebelumnya, pegiat hukum AR Arsyad menyebutkan sejumlah kejanggalan putusan MA terhadap kasus TP. Pertama, Putusan MA berbeda dengan putusan beberapa kasus serupa sebelumnya. Diantaranya putusan MA pada Pilwalkot Makassar, yang menguatkan putusan PTTUN mendiskualifikasi Danny-Indira.
“Padahal pasal yang menjerat mereka itu sama. UU nomor 10 pasal 71. Keduanya dilaporkan karena menggunakan program pemerintah yang menguntungkan pencalonannya,” jelasnya.
“Selanjutnya, kita harus mengkaji kembali UU Nomor 10 Tahun 2016 ini, dan segala ketentuannya harus ditaati dan mengikuti Hukum Acaranya. Seperti halnya diatur pada Pasal 153 dan 154,” jelasnya.
Dia mencermati upaya Hukum paslon TP yang dianggap tidak sesuai dengan dua pasal tersebut.
Selanjutnya, Arsyad meminta KPU dan MA menyimak Peraturan Makamah Agung (PerMA) Nomor 11 Tahun 2016.
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa.
“Permohonan TP tidaklah memenuhi unsur permohonan sebagaimana aturan tersebut di atas. Sanksi yang diajukan sebagai alasan Pembatalan Paslon (Diskualifikasi), bukan
Pelanggaran Money Politic (politik uang) sesuai pasal 73 (1) dan (2), melainkan Paslon didiskualifikasi karena hanya melanggar Pasal 71 (3), yang merupakan pelanggaran TUN Pemilihan sebagaimana Pasal
153 dan 154 jo Pasal 71 (3) UU 10 tahun 2016 dan Perbawaslu 14 Tahun 2017 sehingga MA tidak berwenang mengadili Permohonan TP-PR,” bebernya. (rls/tim)