Penulis: M Haris Syah (jurnalis, fans PSM)
PIJAR ESAI — Saya mengawali karir sebagai jurnalis olahraga. PSM menjadi desk liputan yang memang saya pilih, semata karena hobi sepakbola dan kesempatan lebih dekat dengan tim kebanggaan, Juku Eja. Saya rasa, semua jurnalis olahraga di Sulsel suka meliput PSM. Juga, hampir seluruh media ‘wajib’ menempatkan satu reporternya di desk PSM.
Tugas pertama saya sebagai reporter PSM, adalah meliput persiapan pertandingan ujicoba saat jeda ISL. Hari itu, saya ingat persis. 26 Maret 2014, PSM akan away ke Semen Padang. Sang kapten Syamsul Chaeruddin mungkin tidak tau, dia adalah narasumber pertama saya.
Saat itu saya menemuinya di Karebosi. Dg Sila latihan terpisah dengan skuat. Dia hanya melakukan gerakan-gerakan kecil dipinggir lapangan, bersama dua penyerang Andi Oddang dan Kaharuddin. Mereka sedang cedera. Saya menghampirinya agak malu-malu. Maksudnya sih mau wawancara. Syamsul -bagi orang kampung seperti saya- hanya biasa saya saksikan di TV tetangga.
“Doakan saja bos, mudah-mudahan bisa pulih sebelum pertandingan,” ucapnya seraya tersenyum lebar. Hari-hari berikutnya, saya baru menerka-nerka arti senyum itu.
Dg Sila mungkin menyadari, yang mewawancarinya adalah jurnalis ingusan dari kampung. Betapa tidak, para pemain itu masih dalam sesi latihan resmi, lalu saya nyerocos menghampiri dipinggir lapangan. Satu hal yang amat tidak lazim bagi klub profesional. Tapi dia tetap menyapa dengan ramah. Untung juga, Coach Rudy Keltjes tidak melihat kelakuan norak saya.
Kesempatan berikutnya, 2015. Saya temui Syamsul diruang konferensi pers, usai pertandingan kontra Sriwijaya FC di Stadion Mattoanging. Dg Sila malam itu tampil menggila setelah hanya dicadangkan beberapa matchday. Sama sekali tidak kelihatan kalau usianya sudah diatas 30.
Sesi konpers belum dimulai, Syamsul dan beberapa ofisial sudah ada diruangan itu. Dg Sila berdiri sandar dibelakang, luput dari perhatian reporter lain. Saya menghampirinya.
“Tidak ada ji istimewa. Berkat kerjasama tim, kita bersyukur bisa menang”, demikian katanya. Dia memilih merendah, walau sebenarnya dia bisa mewarning pelatih bahwa dirinya belum ‘habis’. Syamsul menolak saat saya ‘provokasi’.
13 November 2017, Dg Sila kembali bermain kontra Madura United. Dia masuk pada babak kedua, PSM tampil spartan. 6 gol dilesakkan.
Kini, Dg Sila sudah memutuskan mundur. Airmatanya sempat menetes saat mengumumkan bahwa pertandingan itu adalah pertandingan terakhirnya.
Gantung sepatu atau berlabuh ke klub lain?, saya berharap tidak. PSM akan kehilangan besar jika membiarkan seorang Syamsul pergi begitu saja.
Saat masih aktif bermain, dia bak kuda yang tak kehabisan nafas. Meski ban kapten melekat dilengan pemain lain, namun bagi pecinta PSM, pemandangan yang lazim melihatnya berteriak keras sambil mendorong tangan keatas, mengisyaratkan ‘perintah’ kepada pemain lain agar lebih fight dan bersemangat. Saat ia dicadangkan, juga lazim mendengar gemuruh penonton meneriakkan agar Syamsul dimasukkan.
Diluar lapangan, dia adalah teladan bagi pemain lain. Setidaknya seperti yang saya ceritakan.
Salah satu media memberitakan bahwa Syamsul akan di-plot sebagai asisten pelatih PSM junior. Jika benar, saya sangat sepakat. Para pemain muda PSM bisa mempelajari segala hal soal sepakbola dari legenda hidup ini.
Pun jika tidak, seluruh warga Sulsel khususnya fans PSM patut berterima kasih atas dedikasi 15 tahun dari Dg Sila. Posisinya dilapangan mungkin bisa digantikan oleh Rasyid, Asnawi atau Arfan, namun dihati pecinta PSM, Syamsul sudah menorehkan catatan tersendiri. Setidaknya bagi saya. (*)