Penulis: Yasser Latief.
PIJAR ESAI — Sambil memasak di dapur, Emmak, perempuan hebat yang melahirkan kami anak-anaknya, menunjukkan saya koran bekas Mimbar Karya yang banyak menempel di dinding. Bukan menempel, sih, tapi memang itulah yang menjadi dindingnya setelah sebelumnya direndam tepung kanji lalu dilekatkan pada bambu-bambu kecil yang menjadi rangkanya. Nanti setelah kanjinya kering, kertas-kertas itu akan mengeras serupa karton tebal. Sebuah kreativitas yang lahir dari ketiadaan bahan kayu atau tripleks, sekaligus kerendahan daya beli seorang Bapak yang guru SD dengan lima anak hehehe…
Sambil terus bekerja memasak, Emmak menyibukkan saya yang masih kecil, mengeja huruf demi huruf yang kadang koran bekasnya dipasang terbalik. Ketika huruf M saya bisa tahu, maka Emmak meminta saya mencari lagi huruf yang sama, kemudian berpindah ke huruf berikutnya. Sampai akhirnya seluruh huruf Mimbar Karya bisa saya baca.
Demikianlah seterusnya sampai urusan dapur selesai, lalu Emmak membawa saya berpindah tempat. Biasanya setelah itu saya disuruh sarapan, lalu urusan Emmak berpindah ke sungai dekat rumah untuk mencuci.
Alhamdulillah, saya sudah pintar membaca sebelum masuk Sekolah Dasar. Dan guru pertama saya adalah Emmak, seorang ibu rumah tangga biasa jebolan Sekolah Rakjat, yang mengajar di ruang dapurnya sambil memasak…
Bukan hanya membaca huruf latin yang Emmak ajarkan, beliau pula yang mengajari saya huruf-huruf Hijaiyah hingga saya lancar mengaji.
Selalu tak cukup ruang untuk menulis tentang Emmak. Namun dalam kalimat yang lebih pendek, Emmak bagi saya adalah sumber dari segala kebaikan. Salah satu pesan penting yang sering beliau ulang-ulang ke kami anak-anaknya adalah, perlakukan orang sebagaimana engkau ingin diperlakukan. Sangat sederhana. Namun maknanya cukup dalam.
Tapi saya tak pernah mengucapkan selamat hari ibu untuk Emmak semasa hidupnya. Keluarga kami juga tak pernah merayakan ulang tahun atau sekadar mengucapkan selamat bagi yang ulang tahun. Mungkin Bapak dan Emmak berpikir setiap hari sama saja istimewanya. Jadi tak perlu hal-hal seperti itu. Atau mungkin juga kami terlalu udik untuk mengurusi ulang tahun.
Mungkin aneh di jaman now ya? Mungkin saja begitu. Tapi tentu itu bukan ukuran cinta Emmak dan Bapak kepada kami anak-anaknya. Karena meski tanpa ucapan selamat ulang tahun, apalagi perayaan-perayaan, cinta mereka berdua mengalir deras di setiap tarikan napasnya. Dan hingga mereka telah berpulang kepada Ilahi Rabbi, saya meyakini bahwa setiap pencapaian kami anak-anaknya hari ini, tak lepas dari doa-doa yang pernah terkirim di setiap sujudnya semasa hidup.
Selamat Hari Ibu…
Memuliakannya dengan perbuatan jauh lebih baik dari sekadar kalimat-kalimat manis, yang hanya hadir sekali dalam setahun. (*)