Oleh : Fauzan Mahmud
ESAI — Memanfaatkan waktu libur, saya mencoba tour ke kampung kopi asal Kopi Arabica yang dikenal dengan nama Kobass (Kopi Basseang).
Melihat di google map, Kampung Patte Doang, Dusun Kalosi, Desa Basseang, Kabupaten Pinrang berada di sebelah utara dengan ketinggian 1.100 mdpl.
Menggunakan motor trail, saya mencoba menuju asal kopi Kobass yang terkenal itu. Saat itu, saya bersama 4 orang teman berpacu melawati medan terjal, jurang dalam, dan tanjakan lincin. Sebab jalan baru dibuka, sehingga batu kecil membuat ban motor sesekali slip. Kondisi ini ditambah ruas jalan hanya selebar 1 meter. Sisi kiri tebing, sisi kanan jurang.
Perjalanan menempuh 6 jam lamanya membuat jantung serasa mau copot. Mungkin karena baru melewati medan seperti itu. Ucapan bismillah tak henti-hentinya keluar dari mulut. Soalnya, jika terjatuh jurang dengan kedalaman ratusan meter menanti.
Empat jam perjalanan, kami tiba di Desa Basseang. Kami kemudian istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Dusun Kalaosi. Masih ada sekitar 2 jam perjalanan dengan medan lebih menantang lagi.
Perjalanan kami lanjutkan. Konsentrasi tinggi melewati jalur setapak dan terjal. Dua jam kami tempuh perjalanan hingga tiba di Dusun yang dituju.
Sejauh mata memandang hanya kebun Kopi Arabica terlihat dengan batang pohon yang besar menandakan kopi di sana usianya ratusan tahun.
Hanya ada delapan rumah di kampung tersebut dan sebuah pendopo atap berbentuk tongkonan mulai lapuk dimakan usia.
Kami disambut ramah warga dengan suguhan kopi menjadi pengganti dahaga kami yang telah uji nyali selama perjalanan.
Sambil bercerita bersama warga, hawa dingin mulai menusuk tubuh dan riuh pohon pinus ditiup angin menambah nikmatnya kopi.
Saya mencoba menggali kehidupan warga selain kopi. Ternyata mereka hidup serba kekurangan. Mulai akses jalan yang ekstrem, layanan pendidikan dan kesehatan juga tidak ada.
Mau sekolah, anak-anak di sana harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer. Sama seperti pelayanan kesehatan, mereka juga harus turun ke desa yang jarahnya cukup jauh.
Tak heran, puluhan anak di desa tersebut tak mengeyam pendidikan di daerah penghasil kopi terkenal itu. Padahal kopi dari desa ini tiap pagi, siang dan malam di minum para elit politik, pejabat, PNS, pengusaha,kontraktor dan para pecandu kopi di kota kabupaten.
Membayangkan warga setempat membawa kopi untuk dijual ke kota desa tak sebanding dengan harga kopi dan resiko selama perjalanan.
Yah.. mau diapa. Itulah kehidupan warga Kampung Patte Doang, Desa Basseang. Ternyata kampung kopi tak senikmat kopinya. (*)