Oleh : Rizal (Mahasiswa KPM IAIN Parepare)
Mungkin tepatnya hari ini, Jumat, 18 November 2022 saya menulis naskah ini. Naskah yang menggambarkan sejarah kelam yang menimpa masyarakat kelurahan Watang Bacukiki, terutama kesedihan yang mendalam kami rasakan dan kami lihat langsung dari raut wajah masyarakat khususnya di RW 4 Mangimpuru, Kelurahan Watang Bacukiki.
Sejak petang dini hari, memasuki pertengahan bulan November, hujan deras mengguyur daerah Kota Parepare terutama di salah satu daerah yang kami rasakan sendiri dampaknya, tepatnya di Kelurahan Watang Bacukiki. Sebelum penulis membawa langsung pembaca terjun bagaimana keadaan dan apa yang kami rasakan bersama masyarakat yang terkena dampak bencana alam, pertama kali kita melihat apa sebab, letak, dan kondisi geografis daerah Kelurahan Watang Bacukiki.
Jika melihat secara letak geografis daerah Kelurahan Watang Bacukiki berada pada titik terendah di kelilingi dan di himpit oleh gunung, bukit, dan sungai yang ada di Kota Parepare. Mungkin hal itu yang menjadi salah satu sebab mengapa Kelurahan Watang bacukiki selalu tergenang air pada saat musim hujan. Berdasarkan dengan sejarah histori dari masyarakat seperti part sebelumnya, memanglah Kelurahan Watang Bacukiki diduga merupakan bekas pelabuhan dan kerajaan.
Berdasarkan beberapa bukti peninggalan yang berhasil di temukan oleh masyarakat yaitu Meriam laut yang dapat kita temukan di daerah tinggi pengunungan. Meriam laut merupakan senjata yang dipergunakan untuk mempertahankan suatu wilayah daerah kekuasaan teritorial. Meriam Laut merupakan senjata pertahanan yang dipergunakan untuk menyerang dan bertahan dari serangan musuh. Masih banyak beberapa bukti peninggalan yang bisa di jadikan bahan penelitian untuk kami telusuri. Bahkan pemerintah kota sudah menyimpan beberapa penemuan alat-alat berat mesin di pengunungan. Untuk menelusuri bukti tersebut penulis akan membahas di tulisan dan di part selanjutnya dari cerita masyarakat.
Masyarakat dengan mayoritas bekerja sebagai petani, tentunya mengandalkan sumber air untuk menghidupi bibit guguk di sawah. Namun kebutuhan akan air untuk lahan sawah masih terbatas untuk beberapa luasnya lahan yang ada di Kelurahan Watang Bacukiki. Hal itu merupakan suatu kendala bagi masyarakat, karna saluran sumber air dari sungai tidak sanggup untuk menjangkau seluruh bagian sawah.
Salah satu masyarakat yang bekerja sebagai petani sebut saja Pak Bursal, yang kami kenal sebagai tempat kami untuk bertanya dan memperoleh informasi. Kami mendapatkan keterangan dari beliau dan pernah mengatakan, jika pada umumnya dalam jangka satu periode atau sekitar setahunan, petani mampu memperoleh hasil panen dua kali dalam setahun. Jika kebutuhan air mampu terpenuhi, mungkin bisa mencapai tiga kali panen dalam masa kurang lebih satu setengah tahun. Hal itulah yang menjadi cita-cita dan keinginan dari masyarakat agar hasil pertanian mampu lebih maksimal dan ditingkatkan lagi terkait dengan cara pemenuhan kebutuhan akan air tanpa harus selalu berharap pada musim hujan.
Untuk memenuhi kebutuhan akan sumber air tersebut, masyarakat bertani dengan menggunakan metode tradisional yaitu “Tadah Hujan”. Dengan mengandalkan air hujan yang berjumlah besar, masyarakat mampu manfaatkan untuk menebar benih bibit guguk dan membajak sawah. Rutinitas menjelang menanam yang sering kami jumpai adalah kesibukan dari masyarakat setempat mulai dari Petang hingga dini hari yaitu mengurusi sawah, tambak, kebun, dan hewan ternak sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Kelurahan Watang Bacukiki.
Senggang waktu yang di pergunakan untuk menanam padi sesuai dengan prediksi bulan dan prakiraan cuaca pada saat musim hujan. Musim hujan pada umumnya yang masyarakat ketahui adalah sekitaran akhir bulan, antara November dan desember. Memasuki bulan itu, masyarakat sudah mempersiapkan diri baik dari segi persiapan alat dan keperluan lainnya untuk menggarap sawah yang akan di tanam. Ibaratnya sebuah pertempuran, mempersiapkan senjata sebelum terjun langsung ke medan perang.
Mungkin para pembaca sudah tau, ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan mungkin ujungnya adalah kekecewaan. Begitu yang dirasakan masyarakat terutama di RW 4 Mangimpuru. Ketika perencanaan tidak berjalan sesuai rencana awal bagaimana semestinya, mungkin dalam tahap ini merupakan tahap ujian dan cobaan. Karna sehebat apapun manusia dalam berwacana, rencana tuhanlah yang sebaik-baiknya rancangan.
Tepatnya di pertengahan bulan november, hujan deras mengguyur beberapa di Kota Parepare mulai dari pagi hingga dini hari. Intensitas curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan air dari pengunungan dan bendungan sungai tinggi dan meluap. Hal tersebut terjadi dan merupakan cobaan yang menimpa masyarakat Kelurahan Watang Bacukiki.
Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan air dari pengunungan turun ke tempat pemukiman masyarakat dengan kapasitas air yang cukup tinggi. Ditambah lagi dengan air sungai yang jumlah tinggi dan banyak dari arah laut menuju sungai yang tak mampu tertahan sehingga meluap, membanjiri, dan menenggelamkan seluruh lahan sawah, kebun, dan tambak yang ada di Kelurahan Watang Bacukiki yang luasnya ratusan hektare.
Mungkin hal ini sudah biasa terjadi dan hal yang lumrah bagi masyarakat RW 4 Mangimpur. Tapi tidak untuk kali ini, Tutur salah satu warga yaitu Pak Jamil. Pak Bursal juga mengatakan hal demikian, Beliau tinggal sejak tahun 1999 bermukim di Kelurahan Watang Bacukiki, baru kali ini ada banjir separah ini meneggelamkan seluruh lahan sawah dan tambak serta membuat rumah warga tergenang banjir.
Selokan tidak mampu menahan deras dan tingginya aliran air yang meluap akibat derasnya hujan, jadi beberapa rumah masyarakat tenggelam karena air. Akses jalanan umum terhalangi oleh banjir, beberapa pasir dan batu dari gunung juga terbawa dan terseret oleh arus air sehingga memenuhi dan menghalangi jalur jalanan umum. Kami dan masyarakat bahu membahu membersihkan selokan agar tidak tersumbat, membersihkan jalanan yang tertimbun batu dan pasir, serta membantu mengangkut barang-barang milik warga yang tergenang air.
Dengan budaya gotong royong yang masih tetap terjaga di lingkungan masyarakat setempat, dijadikan sebagai pertolongan pertama untuk mengurangi dan menanggulangi banjir dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi akibat dari dampak yang ditimbulkan.
Tentu hal ini merupakan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat yang terkena dan merasakan dampaknya. Beberapa masyarakat menitihkan air mata, menanggung perihnya dari hasil jerih payah yang telah mereka usahakan namun berbanding terbalik dengan apa yang mereka dapat. Mereka mengalami kerusakan lahan, bibit guguk yang gagal di tanam, dan kembali lagi membajak sawahnya. Bahkan akibat dari peristiwa ini, ada kendaraan motor dari warga yang hanyut terbawa oleh arus derasnya banjir. Hewan ternak warga ada yang hilang hanyut terbawa derasnya arus banjir. Beberapa lahan kebun dari masyarakat yang mereka tanami gagal panen terendam banjir.
Masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak kehilangan rumah sawahnya akibat terseret arus dan terendam banjir. Beberapa kepala keluarga yang kehilangan tempat tinggal, serta beberapa mesin berat yang dimiliki warga, yang di pergunakan untuk mendukung mata pencaharian hilang bahkan ada yang rusak terendam banjir. Peristiwa ini mungkin tiba-tiba terjadi tanpa bisa masyarakat prediksi kapan datangnya.
Beberapa kerusakan dan kerugian yang terjadi sepanjang jalan dan daerah Kelurahan Watang Bacukiki bahkan hampir seluruh bagian kota parepare dirasakan dalam peristiwa ini. Hal ini merupakan catatan terbesar selama sejarah sebelum berdirinya pemukiman di Kelurahan Watang Bacukiki.
Mari sama-sama kita berdoa semoga Kota Parepare yang dicintai ini senantiasa di lindungi oleh Allah SWT, dan masyarakat di beri kekuatan untuk segera pulih dan membaik. Untuk Masyarakat RW 4 Mangimpuru, kalian hebat, kalian kuat, bisa melewati segalanya dengan penuh kesabaran dan ketabahan. (*)