JAKARTA, PIJARNEWS.COM — Tahun 2017 menjadi tahun yang cukup mengkhawatirkan bagi para pekerja jurnalistik dan proses kebebasan pers di tanah air.
Wajah pers di tahun 2017 banyak tercoreng oleh prilaku ketidakprofesionalan para jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana dan Sekjen Indria Purnamahadi merilis data Dewan Pers yang menyebutkan, setidaknya ada 600 aduan yang terkait masalah pers pada 2017. Tentu hal ini menjadi salah satu persoalan pers yang harus dipecahkan bersama.
IJTI melihat, 2018 menjadi tahun yang sangat krusial bagi eksistensi jurnalis dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tuntutan profesionalisme serta independensi menjadi suatu keharusan. Mengingat tahun 2018 merupakan awal tahun politik. Jurnalis dan media memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi yang tengah berlangsung.
Menurut Yadi, belajar dari tahun-tahun politik sebelumnya, hegemoni kepentingan politik telah membuat para jurnalis bimbang di persimpangan jalan, sehingga tidak sedikit yang terseret dalam arus keperpihakan dan kepentingan politik.
“Ini menjadi catatanya sekaligus evaluasi mendalam bagi para jurnalis dalam menjalankan tugasnya,” tulis Yadi dalam rilisnya yang diterima pijarnews.com.
Selain tahun politik, tahun 2018 juga harus menjadi momentum untuk menyelesaikan carut marutnya regulasi dunia penyiaran khususnya televisi.
“IJTI mendorong agar semua pihak terkait duduk bersama untuk mencapai kata sepakat agar regulasi kepenyiaran bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. Terutama kepentingan masyarakat umum,” tambahnya.
Itu lanjut dia, mengingat tugas jurnalis sepenuhnya menyuarakan kebenaran dan berpihak kepada kepentingan orang banyak, jurnalis Indonesia harus diisi oleh jurnalis yang memiliki integritas tinggi.
Oleh karena itu, IJTI, menyerukan beberapa hal, yakni; Dalam menjalankan tugasnya jurnalis televisi harus profesional, berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik dan P3SPS serta aturan yang berlaku.
Selain itu, jurnalis televisi adalah sosok yang menjaga martabat, berintegritas serta santun dalam bermasyarakat. Jurnalis televisi tidak boleh partisan, pemberitaanya mengutamakan kepentingan orang banyak di atas kepentingan yang lain.
Jurnalis televisi juga harus hadir menjadi pencerah di tengah maraknya berita bohong yang beredar di media sosial dengan menyajikan berita yang benar, berimbang, independen dan berdampak positif bagi orang banyak.
Jurnalis televisi harus secara terus menerus meningkatkan kapasitas dan kompetensi sesuai perkembangan zaman.
IJTI juga meminta pada industri pers agar menjamin dan meningkatkan kesejahteraan para jurnalisnya. Meminta kepada pihak terkait menyelesaikan regulasi kepenyiaran dengan mengutamakan kepentingan masyarakat banyak.
IJTI juga mengapresiasi kesadaran media dalam sidang kasus Basuki Tjahaya Purnama yg menahan diri dan mementingkan dampak dari produk berita, sehingga tidak timbul gesekan di masyarakat.
Selain rekomendasi di atas, IJTI juga menyampaikan, selama 2017 mencatat terjadi banyak kekerasan terhadap jurnalis.
Kekerasan dan intimidasi masih menjadi ancaman utama bagi para jurnalis. Dalam catatan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia IJTI, masih banyak kasus kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis saat menjalankan tugasnya.
IJTI mencatat, 60 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi di tahun 2017. Kekerasan paling banyak dialami para jurnalis televisi yakni 25 kasus, selebihnya menimpa jurnalis cetak, radio dan online.
Dari segi angka tingkat kekerasan menurun dibanding tahun 2016, namun tetap kondisi ini merupakan ancaman nyata bagi keselamatan para insan pers di tanah air.
IJTI mengadvokasi sejumlah kasus kekerasan yang dialami para jurnalis tv baik di Jakarta maupun di daerah.
Dalam tiga bulan terakhir kasus yang diadvokasi diantaranya, kasus kekerasan jurnalis Net tv yang dianiaya oleh okunum TNI di Madiun, kasus kekerasan jurnalis Metro TV yang dianiaya oleh oknum Polisi dan Satpol PP di Purwokerto serta penganiayaan jurnalis Kompas TV saat meliput kegiatan kreatifitas anak muda di kota Sorong, Papua Barat.
Kekerasan yang menimpa para jurnalis saat menjalankan tugasnya dilakukan oleh berbagai pihak, baik oknum aparat maupun masyarakat sipil. “Ada sejumlah faktor yang membuat kekerasan terhadap jurnalis kerap terulang, seperti; lemahnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan serta minimnya pemahaman akan tugas jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang,” ungkap Yadi.
Selain kekerasan, ancaman lain yang dihadapi para jurnalis adalah bentuk kriminalisasi serta keberadaan pasal karet seperti yang tertuang dalam UU ITE. Pasal ini seringkali digunakan sejumlah pihak untuk menjerat para jurnalis.
Tahun 2018 tambah Yadi, adalah tahun politik, di mana pemberitaan akan banyak dihiasi oleh berita-berita politik dan kooptasi kepentingan, kekerasan juga dimungkinkan terjadi karena dampak dari pemberitaan dan cara kerja jurnalis di lapangan. “IJTI mengajak kepada seluruh jurnalis di tanah air untuk mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bekerja dengan profesional.
Tampilkan wajah jurnalis yang profesional, berintegritas dan memegang teguh etika. Selamat Tahun Baru 2018, mari kita songsong dengan penuh keyakinan,” tulisnya dalam siaran persnya. (rls/asw)