M Haris Syah
Parepare, Sulsel
Tidak begitu sulit menemukan rumah itu. Sebenarnya lebih pantas disebut gubuk. Berdiri ringkih dipinggir jalan Lingkar Lemoe Kota Parepare, Sulsel. Penulis mengunjunginya beberapa waktu lalu, sekira pertengahan bulan Ramadan.
Ada rasa khawatir saat menaiki anak tangganya yang keropos. Bisa ambruk sewaktu-waktu. Gubuk itu doyong ke kanan. Tiga batang potongan pohon menyangganya, sementara sisi kiri diikat tambang pada tiang listrik. Didalamnya tinggal nenek Deleng, orangtua berusia 70 tahun.
Dia sedang mengeringkan jagung saat penulis menyapa dengan salam. Ia tetap menjawab takzim. ‘waalaikumsalam’ katanya. Meski kemudian penulis baru tahu, ia penganut Tolotang. Kepercayaan turun temurun sebagian warga di kawasan Ajatappareng, utamanya di Kabupaten Sidrap. Karena tidak terdaftar resmi sebagai agama, sebagian besar penganut kepercayaan ini menuliskan agama Hindu di KTP-nya.
Belakangan penulis juga tahu, jagung kering yang sedang sibuk ia keringkan itu, nantinya dia masak untuk dimakan layaknya nasi. “Ini untuk dimakan nak, kalau ada beras kita syukur, kalau tidak ada kita makan jagung lagi,” katanya. Kami berbincang diteras.
Disamping gubuknya memang ada sawah tadah hujan. Tidak begitu luas. Kira-kira setengah ukuran lapangan tenis. Sawah itu dia garap sendiri, tentu dengan dibantu tetangga sesama petani yang berbaik hati membajak sawahnya. Dipematang sawah itu ditanaminya dengan jagung. Sisanya ditanami sayuran, yang saat panen dia jual ke tetangga.
Pelik masalah buat Nenek Deleng. Dia tidak mengantongi KTP Kota Parepare. Dia warga Kabupaten Sidrap. Sehingga bantuan raskin di Parepare tidak pernah mampir di gubuknya. Padahal, dia sudah 20 tahun tinggal disana.
Nenek Deleng juga ternyata berasal dari keluarga pejuang perang. Sebuah pin emas tanda veteran disimpannya baik-baik dilemari satu-satunya yang ada didalam gubuk itu. “Bapakku namanya Kallolo’, dia dulu pejuang. Saat kita diserbu Belanda, mereka lari masuk hutan. Biasa saya dari Lakessi keluar masuk hutan, mengantar makanan yang disembunyi dalam tumpukan garam,” kenangnya.
Sungguh bukan pilihan Nenek Deleng untuk hidup miskin. Namun dia berprinsip, soal rezeki itu tuhan yang atur. Mungkin karena itulah dia bisa bertahan hidup meski dengan kondisi amat miris.
“Rezeki selalu ada nak, biar sekadar untuk makan saja. Dulu waktu pu’ Zain (Zain Katoe, Walikota Parepare 2008-2010, red), itu beras biasa dia antar sendiri, betah lama duduk disini cerita-cerita apa saja,” kenangnya, sembari mengaduk jagung kering itu.
Meski bukan seorang muslimah, ia kebagian berkah Ramadan. Beberapa aktivis HMI yang membaca berita yang dibuat penulis, menyumbang alakadarnya. Sehari berikutnya, seorang Legislator Sulsel juga berkenan menyambangi gubuknya, menyalurkan bantuan sembako. (*)