OPINI — Siapa sangka janji manis diskon Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dirjen Pendis mencabutnya kembali dengan alasan takut aksi demonstran rakyat mahasiswa.
Tuai pro-kontra mewarnai pandemi Covid-19. Yah siapa menyangka dan siapa bakal tersangka. Orkestra Dirjen Pendis dan Rektor PTKIN atau para ayah intelektual kita mulai mengkhawatirkan nasib kami anak-anaknya.
Khawatir katanya akan gerakan massa yang memperjuangkan hak-hak rakyat yakni mahasiswa.
Siapapun itu wajib prihatin akan pandemi. Harus prihatin dengan kondisi yang memurukkan ekonomi rakyat. Segala upaya diagungkan demi memulihkan bangsa wajib ditaati kata bapak pemerintah.
Kebijakan physical distance, PSBB, Kuliah daring. Yah Semua dilaksanakan dan dikerjakan tanpa kobaran api lapangan. Adalah bukti prihatin rakyat dengan Indonesia di tengah pandemi. Tiada media yang mengangkat isu penolakan kuliah online. Semua itu bukti kesejalan rakyat mahasiswa dengan atasannya.
Tapi apa kabar yang minim finansial, apa kabar yang rela menanjak ke bukit demi signal kuliah daring, apa kabar para orang tua buruh yang gagal gaji, apa kabar kos-kosan yang nunggak bayaran. Apa kabar senior semester 14 yang bakal DO apabila melebihi ketentuan regulasi. Terakhir apa kabar mafia-mafia Covid-19, ahhh.
Terheran-heran mata menyoroti sembari menyelami potret pendidikan kala ini, mana mementingkan dan mana kepentingan. Janji manis diskon subsidi kini memekat pahit di telaga mimpi. Selain diajarkan mengkaji ternyata mahasiswa diajarkan bermimpi (di-php-in). Yang sebelumnya suratnya berisikan hati, diganti dengan peti mati. Maka wajar solusi TOLAK BAYAR UKT menanti semester depan.
Seminggu lebih keringat panas nan dingin diurai sana sini oleh aktivis sosmed kita. Menyoal ketimpanan untuk kemapanan sosial. Demi subsidi atau bantuan kecil dari penguasa. Salahkah rakyat mengoceh kepada tuannya yang demokratis itu. Jikalau tujuannya refocusing diartikan menfokuskan kas untuk penanggulangan. Maka objek penanggulangannya adalah rakyat. Yah mahasiswa adalah rakyat terdidik, yang menempuh pendidikan. Kalau bukan mencerdaskan rakyat Indonesia, terus jargon apalagi.
Penguasa dan rakyat adalah kombinasi utuh yang akan menyelamatkan nasib bangsa dari jeratan covid-19. Teorinya sederhana “Win-win solution.”
Semua elemen berada pada pihak yang diuntungkan. Sebab pendidikan bukanlah barang komoditi yang penuh dengan transaksi dan spekulasi. Mahasiswa bukan produk industri yang tetap diwisuda walau akreditasi mati suri.
Sepatutnya ayah-ayah paham akan hal ini. Mereka hidup menyaksikan bahkan terlibat di zaman pelengseran rezim orde baru. Soal mahasiswa sudah menjadi santapan harian. Untuknya itu “Kembalikan HAK Kami” wahai ayahku yang terhormat, ucapnya.
Bersama kita kobarkan api kesembuhan buat negeri.
Bung Hatta mengatakan bahwa pemimpin dikatakan layak memimpin ketika mampu mendidik pemimpin setelahnya. Keterdidikan yang pendahulu kita inginkan ialah pendidikan yang murni mencerdaskan dan tidak mem-prank mahasiswa. Begitu juga mimpi Ki Hajar Dewantara bagaimana Indonesia diliputi oleh intelektual-intelektual muda yang bakal menyongsong peradaban maju. Segelintir orang masih ada saja ambil momen kepentingan di saat wabah melanda. Monopoli masker, takjil ramadan, kepala batu dan janji Kemenag adalah mereka-mereka yang turut mewarnai penyebaran corona.
Suasana kampus merdeka yang diyakini solusi jihad melawan pandemi. Siapa sangka efeknya memakan korban jiwa demi mencari jaringan internet kuliah online. Yah dia saudari kita, Munawarah, mahasiswa dari salah satu Perguruan Tinggi di Makassar. Satu nyawa sangat berharga ketika kita memandangnya dengan sisi kemanusiaan. Contohnya sosok Munawarah ini yang berjihad di tengah pandemi demi kewajiban kuliah. Di sisi lain masih ada dosen yang anti-kebijakan yang gembira di atas penderitaan tumpukan tugas mahasiswa. Corona effect memang begitu tragis digambarkan. Jikalau bukan kesadaran rakyat dan tersadarnya penguasa, roda kesembuhan akan jauh menepih dipangkuan tanah air.
Faktor ekonomi rakyat yang menekan ke bawah menjadi alasan ketidakandilan rakyat dalam kebijakan dan imbauan. Logikanya adalah ketika kebutuhan primer mereka terpenuhi di saat genting, mereka akan lebih betah di rumah. Terpicunya konflik antara mahasiswa dengan rakyat karena kebutuhan akan hak tidak diindahkan. Apalagi ketika hak telah dijanjikan pemotongan diskon UKT malah ditarik kembali. Sungguh dramatis pemangku kebijakan mempermainkan generasinya.
Intinya adalah pendidikan selayaknya diberi perhatian penuh dan serius walau di tengah pandemi baik aspek ekonomi dan psikologi. Penguasa adil maka rakyat ikut andil. Sebab kebijakan pemerintah di saat genting haruslah lebih responsif dan melibatkan elemen-elemen yang ada, tidak sepihak. Agar Indonesia bebas dari Corona dan mafia-mafia yang mengambil kepentingan sepihak dari corona. (*)
*Penulis adalah Presiden Mahasiswa IAIN Parepare, Tim Kajian UKT, Kuliah Daring DEMA PTKIN.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.