OPINI, PIJARNEWS COM — Video emak-emak melakukan kampanye hitam kembali beredar. Kali ini kejadiannya di Sulawesi Selatan. Dalam video tersebut, si emak mengatakan bahwa jika Joko Widodo terpilih maka pemerintahannya akan menghapus kurikulum agama dan pesantren. Menanggapi video tersebut, Polda Sulsel akan berkoordinasi dengan Bawaslu dalam penyelidikan (Detik,com, 5/3/2019).
Sebelumnya juga viral emak-emak kampanye hitam di Karawang. Mereka mengatakan bahwa Jokowi akan melarang azan dan membolehkan perkawinan sejenis. Ketiga orang emak yang terlibat sudah diamankan polisi (Detik.com, 25/2/2019).
Terlepas dari apa motif para emak melakukan kampanye hitam tersebut, hal ini menggambarkan bahwa kaum perempuan semakin berani menunjukkan pilihan politiknya. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk membentuk komunitas tertentu demi memperlihatkan eksistensinya. Apalagi ditunjang oleh media sosial, semakin memudahkan konektivitas ke publik. Sekarang, hampir di setiap kota bisa ditemukan komunitas khusus perempuan. Juga dalam hal dukung-mendukung capres, kaum perempuan pun tidak ketinggalan berkumpul dalam komunitas dadakan.
Sehingga, maraknya komunitas ini menjadi ladang subur bagi tim sukses kontestan pemilu, baik pemilihan capres-cawapres ataupun pemilihan anggota legislatif nanti. Mereka lebih mudah mendeteksi ‘sarang suara’ dan melakukan sosialisasi, kemudian mengarahkan sesuai kepentingan mereka. Tapi, hanya sampai disinikah keterlibatan kaum perempuan dalam politik?
Para Emak Terjebak Euphoria Demokrasi
Wacana mengenai pemberdayaan peran politik perempuan menjadi salah satu isu penting yang mencuat di tengah euphoria demokratisasi. Kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik membuat partai berburu mencari kader atau pendukung dari kalangan perempuan. Begitupun dalam parlemen, meningkatkan kuantitas anggota legislatif dari kalangan perempuan terus diupayakan.
Sistem demokrasi dengan jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) yang kemudian melahirkan prinsip kedaulatan di tangan rakyat, memberi peluang sebesar-besarnya bagi seluruh individu masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, untuk berpartisipasi dan terlibat penuh dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut diri mereka. Sementara itu, lembaga pemerintah bertindak sebagai institusi resmi yang diangkat dengan kontrak oleh rakyat untuk melaksanakan apapun kehendak rakyat,
Para aktivis perempuan melihat bahwa demokrasi memberi harapan besar bagi kaum perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Sehingga mereka pun telah menjadikan isu sentral perjuangan politiknya terfokus pada tiga hal, yaitu seputar masalah kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, masalah tuntutan kuota perempuan dalam parlemen serta masalah tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Mereka menganggap besarnya aksesibilitas perempuan ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi, akan menjadi jalan solusi bagi masalah perempuan yang selama ini tak kunjung terselesaikan.
Namun, kultur yang ada selama ini dianggap tidak memberi ruang gerak yang besar bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya berkiprah di kancah publik, terutama di dunia politik. Oleh karena itu, para aktivis perempuan menjadikan tujuan terpenting dari perjuangannya adalah membongkar penghalang budaya yang selama ini kokoh mengurung kaum perempuan dalam wilayah domestik, sekaligus membebaskan mereka berkiprah seluas-luasnya di sektor publik.
Tidak sedikit kaum perempuan terjebak dalam logika feminis. Mereka ramai-ramai menyambut seruan kebebasan. Tetapi, meskipun demokrasi telah membuka kran kebebasan seluas-luasnya bagi perempuan untuk berkiprah di sektor publik, termasuk dalam dunia politik, masalah yang selama ini menimpa kaum perempuan justru tidak terselesaikan, bahkan semakin kompleks. Ide kesetaraan gender, kebebasan dan individualisme sebagai pemikiran pokok dari demokrasi yang intens diserukan pegiat feminis ke tengah-tengah masyarakat justru memunculkan berbagai persoalan lanjutan yang memperparah kondisi sebelumnya.
Jadi, tidak mungkin menyelesaikan persoalan perempuan dan masyarakat secara umum jika berharap pada sistem demokrasi. Rakyat termasuk emak-emak hanya dianggap penggembira dalam riuh pesta demokrasi. Sistem ini telah memarjinalkan potensi politik kaum perempuan sebatas hak pilih seujung jari. Menjelang pemilu kaum perempuan didekati oleh politisi, diberi janji-janji manis supaya memilih mereka dalam bilik suara. Tapi, setelah ‘syahwat’ berkuasa mereka terpenuhi, para emak hanya bisa gigit jari. Lagi!
Kiprah Politik Dimensi Ruhiyah
Politik jangan diartikan sebagai sekedar jalan menuju kekuasaan, karena pengertian ini seolah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir dari kegiatan politik, sehingga seringkali kekuasaan itu tidak digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Dengan defenisi politik seperti ini, para emak dianggap memiliki peran politik hanya apabila ia sedang menuju kepada atau sedang memegang jabatan kekuasaan tertentu (menjadi anggota/pengurus parpol, menjadi anggota dewan atau menduduki jabatan di pemerintahan). Di luar itu dianggap bukan peran politik.
Dalam Islam, politik diartikan sebagai pengurusan seluruh urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya. Sehingga setiap individu rakyat, baik laki-laki ataupun perempuan, memilki hak dan kewajiban yang sama untuk memikirkan urusan umat dan memperjuangkan agar upaya pemeliharaan urusan umat terlaksana. Dan ini merupakan bagian dari aktivitas politik. Sehingga esensi dari kiprah politik perempuan adalah memenuhi kewajibannya yang datang dari Allah SWT, yaitu sebagai bentuk tanggungjawab terhadap masyarakat.
Hanya saja, untuk merealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik, seorang muslimah harus mengetahui bentuk-bentuk aktivitas politik yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut Islam. Aktivitas politik yang boleh dilakukan meliputi hak dan kewajiban baiat kepada khalifah atau pemimpin kaum muslimin, hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat, kewajiban amar makruf nahi mungkar, kewajiban untuk menasehati dan mengoreksi penguasa serta kewajiban menjadi anggota partai politik Islam yang sahih.
Sedangkan aktivitas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan yaitu aktivitas yang termasuk dalam kekuasaan atau pemerintahan secara langsung mengurusi urusan umat, seperti kepala negara, wali atau gubernur, amil atau bupati. Larangan bagi perempuan untuk memegang jabatan penguasa bukan berarti merendahkan perempuan. Sebab, Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat dalam politik sama pentingnya. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah SWT, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah. Karena itu, keberhasilan pengaturan urusan umat demi tercapainya kesejahteraan bergantung kepada seluruh warga negara, bukan hanya pemimpinnya.
Sejarah telah mencatat bagaimana para wanita di masa Rasulullah melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama Rasulullah dan para sahabat. Begitupun dengan peran istri-istri Rasulullah dalam perjuangan memegakkan Islam di muka bumi, serta dukungan mereka kepada perjuangan Rasul SAW, sungguh merupakan bukti nyata keterlibatan mereka dalam aktivitas politik.
Demikianlah, Islam memberikan penjelasan tentang kewajiban berpolitik dan bagaimana seharusnya seorang perempuan melaksanakan aktivitas politiknya. Laki-laki dan perempuan harus bersama-sama melangkah, mengemban tanggungjawab politik. Disinilah pentingnya masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi, termasuk kaum perempuan. Karenanya, perlu ada upaya untuk menumbuhkan kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Sehingga persfektif Islam hadir dalam pengaturan urusan umat secara nyata melalui penerapan aturan oleh negara. Inilah hakekat pemberdayaan politik sesungguhnya, yang harus dilakukan bukan hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan. Wallahu a’lam bisshowab.
Penulis: Ola Ummu Athiyah (Pemerhati masalah perempuan, tinggal di Makassar, Email: u.athiyah80@gmail.com)
______________________________________________________________________________________________
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.