OPINI, PIJARNEWS.COM — Kembali nama seorang artis papan atas, VA, mencuat ke media dalam keterlibatan prostitusi online dengan bayaran puluhan juta rupiah. Polisi juga telah mengantongi puluhan nama artis dan model yang juga diduga terlibat sebagai penjaja seks komersial yang ‘berkelas’ ini. VA beserta temannya yang telah tertangkap basah oleh pihak kepolisian ini, hanya ditetapkan sebagai “saksi korban”. Tentu peristiwa ini bukan yang pertama, namun telah banyak dan telah berlangsung lama.
Melihat peristiwa ini, penulis menangkap, bahwa betapa prostitusi masih menjadi ladang basah bagi para penikmat dunia untuk mengambil keuntungan. Bisnis syahwat seolah tak pernah habis untuk dieksplor.
Tengok saja bisnis pariwisata di pulau-pulau cantik di Indonesia itu. Untuk menarik para wisatawan asing, jualan syahwat menjadi hal yang wajib. Pemerintah daerah setempat bahkan dengan bangga memperkenalkannya sebagai kawasan wisata kelas dunia.
Syahwat adalah salah satu kenikmatan hidup yang ingin dirasakan manusia. Dengan bungkusan liberalisme, syahwat menjadi punya tempat untuk disalurkan sebebas-bebasnya tanpa perlu adanya aturan agama. Bahkan ia dilindungi oleh HAM, untuk bisa tetap berlangsung dengan baik.
Karena adanya permintaan dan penawaran dari masyarakat yang telah teracuni paham liberalisme ini, bisnis syahwat adalah hal yang menggiurkan dibaca oleh para kapitalis. Ditambah lagi gaya hidup hedonis, konsumtif lagi mewah, ataukah juga faktor kemiskinan, membuat bisnis ini menemukan jalan suksesnya.
Negara jelas memiliki peran penting dalam keberlangsungan bisnis maksiat ini. Atas alasan mengurangi tersebarnya penyakit kelamin menular, maka prostitusi dilokalisasi. Padahal justru penyakit tersebut lahir dari aktivitas maksiat yang dipelihara. Negara bahkan bisa mengambil keuntungan dari bisnis tersebut berupa pajak yang dibayarkan.
Selain itu, tak ada produk hukum yang dapat menjerat para pelaku zina. Hal yang demikian terkategori wilayah privat yang tak boleh diganggu oleh orang lain selama tak ada yang merasa terzhalimi. Makanya, para perilaku seks bebas tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.
Demikianlah sebuah negara yang berada dalam cengkeraman kapitalisasi liberalisme, yang diniscayakan hidup dalam sistem demokrasi hari ini. Sistem hidup sekuler, sistem hidup yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan. Sistem hidup yang menjauhkan Allah SWT, sang pengatur kehidupan, dari mengatur kehidupan manusia.
Kita tentu telah dapat melihat, bagaimana perzinahan ini telah merusak moral generasi. Generasi yang mestinya sibuk dalam urusan membangun peradaban, namun justru sibuk mengurusi syahwat yang justru menghancurkannya. Demikianlah yang terjadi ketika hukum Allah SWT kita campakkan.
Teringat hadist Rasulullah SAW, “Apabila perbuatan zina dan riba sudah terang-terangan di suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah rela terhadap datangnya adzab Allah untuk diri mereka,” HR. Hakim.
Tentu kita tidak ingin adzab Allah menimpa negeri ini karena merajalelanya maksiat zina. Sudah cukup Allah memperingatkan kita dengan berbagai peristiwa bencana alam yang tiada henti sepanjang tahun kemarin. Bahwa telah nampak kerusakan itu terjadi karena ulah maksiat manusia itu sendiri (QS. Ar-Ruum: 41).
Wallahu’alam.
Hefrida Ruslan, Pendidik PAUD