OPINI–Konservasi, rehabilitasi dam sustainabilitas adalah kalimat yang akrab kita dengar ketika mendiskusikan persoalan lingkungan. Memang sudah seharusnya, merawat dan melestarikan menjadi bagian inheren kehidupan manusia, agar nafas panjang kita tetap berlangsung. Bukan hanya sekedar meriahnya postingan medsos kita atau berhasrat menjadi duta lingkungan, tetapi harus menjadi habitus keseharian kita yang dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana.
Lebih lanjut mengenai kelestarian lingkungan, beberepa pekan terakhir saya ikut nimbrumg disalah satu kegiatan pelestarian lingkungan yaitu penanaman dan rehabiltasi mangrove yang diinisiai oleh salah seorang senior dari WWF Indoensia. Sejak 2017, penanaman yang dilakukan telah mencapai 128 ribu bibit mangrove yang melibatkan berbagai unsur masyarakat, organisasi dan komunitas pemuda.
Mangrove mempunyai manfaat sangat besar secara ekologis. Mangrove menyumbang oksigen dan mengikat karbon, menjadi pelindung bencana tsunami, habitat hewan laut seperti udang, kepiting dan ikan untuk berkembang biak dan menjadi biofilter alami bagi air. Lain lagi dampak ekonomisnya, mangrove menjadi lahan mencari nafkah penduduk disekitarnya baik berupa hasil tangkapan laut maupun difungsikan sebagai ekowisata yang sudah mulai banyak tersebar diberbagai wilayah.
Untuk tumbuh, mangrove bukan hanya membutuhkan lingkungan saja untuk tumbuh, melainkan tangan ikhlas manusia, dan paling penting ialah hasrat yang kolektif dan komitmen untuk merawatnya. Untuk itulah semangat kerelawananan atau volunterasi sangat diperlukan untuk menjaga sustainibiltas eksosistem mangrove kedepannya.
Relawan atau volunteer ialah seseorang yang secara ikhlas dan sukarela melakukan pelibatan diri pada aktifivas memberikan manfaat kepada siapa saja baik sesama manusia maupun alam. Menjadi volunteer adalah sebuah pilihan, pilihan hati, pilihan kesadaran dan tentunya pilihan kemanusiaan. Bila di dunia kerja, orang melakukan sesuatu untuk mendapatkan imbalan atas apa yang telah dikerjakannya. Di dunia relawan, rasa senang justru sudah hadir di saat melakukan kegiatan.
Sejalan dengan bertumbuhnya mangrove dan upaya untuk merawatrnya, semangat kerelawanan juga harus ikut terawat mengikutnya. Realistis saja, kita tidak mungkin hanya mengandalkan satu atau beberapa person untuk menjaganya, tapi perlu ada spirit yang harus diturunkan dari generasi ke generasi. Mengandlakan manusianya bisa saja terbatas pada saat dia sudah meninggal atau tak mampu lagi secara fisik dan pikian, tapi mengandalkan semangat yang mengakar sekokoh akar mangrove bisa terus hidup dan terjaga hingga beberapa generasi kedepan.
Semangat menanam, merawat dan melestarikan mangrove harus menjadi virus ditularkan kepada semua pihak agar ia mewabah dan menjadi semacam pandemic social. Bertautan dengan mengakarnya mangrove yang telah tertanam di pesisir-pesisir pantai, kesadaran social juga harus tertanam kuat dari dalam diri kita masing-masing.
Ya, tentu tantangan dan ancaman pasti ada, mulai dari ancaman alam hingga ancaman dari manusia itu sendiri, tapi semua itu harus diterabas. Melestarikan lingkungan bukan soal profit oriented kalua secara pragmatisnya ataupun social oriented kalau secara kemanusiannya, tapi upaya kita menjaga bumi dari penyakit, dan penyakitnya itu ialah manusia itu sendiri.