OPINI, PIJARNEWS.COM — Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,” dan Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Jika dilihat secara sepintas, semua anak Indonesia telah mendapat haknya atas pendidikan. Namun realita, tidak selamanya indah.
Masih banyak diantara mereka yang tidak mendapatkan pendidikan, bukan karena mereka malas, atau karena sudah cerdas.
Tetapi mereka tidak bisa mengikuti pendidikan karena keterbatasan biaya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan UUD dan merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
Kebanyakan dari mereka yang tidak menempuh pendidikan merupakan anak jalanan yang mengadukan nasibnya di pasar dan perkotaan.
Ada diantara mereka yang bekerja sebagai buruh di pasar, ada pula yang yang jadi pengamen di pasar malam. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 menerangkan bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Di Kota Parepare, Sulawesi Selatan misalnya, penulis memantau ada puluhan anak putus sekolah. Mereka umumnya menjadi penjual kantongan plastik di sekitar areal penjualan ikan dan sayur-mayur di Pasar Sentral Lakessi dan Pasar Senggol Parepare.
Yang lebih memprihatinkan, karena sebagian wilayah perkotaan dipenuhi gemerlap lampu hias. Sehingga terkesan pembangunan hanya mengutamakan estetika kota dengan biaya yang tentunya tidak sedikit.
Disaat banyaknya pengunjung dari luar kota yang datang ke Parepare menikmati keindahan fisik Kota Parepare, disaat itu juga ada anak-anak terlantar dan anak jalanan hanya menggigit jari, mengetuk pintu mobil pengendara dengan berkarya melalui suara demi mendapat rupiah guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terpampang nyata hampir di depan setiap sekolah spanduk berukuran 2X1 yang bertuliskan, “Sekolah ini menyelenggarakan pendidikan gratis.” Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, kenapa masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Jika dilihat secara kasat mata, memang betul semua sekolah negeri telah menerapkan pendidikan gratis, akan tetapi bukankah buku sekolah dan seragam sekolah harus dibeli. Bagi anak-anak putus sekolah yang hanya mengadukan nasibnya di jalanan, tentu merasa berat dengan kewajiban ini. Bagaimana tidak, kebutuhan sehari-hari mereka saja belum terpenuhi secara optimal, apalagi harus membeli seragam sekolah dan buku sekolah. Kalau hal ini sudah terjadi, yang semestinya ditulis di spanduk yang terpajang disekolah adalah “Pendidikan Gratis tapi Bayar.”
Hal ini tentu berakibat buruk bagi bangsa dan negara karena anak-anak merupakan aset negara yang sangat berharga. Mereka yang akan melanjutkan pembangunan bangsa, mereka yang akan memakmurkan negeri. Lantas, bagaimana mungkin mereka dianggap sebagai generasi pelanjut sedangkan sebagian besar dari mereka tidak mempunyai pendidikan. Yang ada nantinya adalah hanya angka kriminalitas dan pengangguran yang semakin tinggi.
Tentu ini merupakan bagian pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Maka dari itu, perlu adanya komitmen dari berbagai pihak untuk bersama-sama menjalankan UUD sesuai dengan perannya masing-masing. Pemerintah lebih memperhatikan nasib anak jalanan, warga yang berkecukupan bisa membantu mereka yang kurang mampu. Tidak lepas pula, motivasi untuk mereka harus selalu dibangkitkan agar mereka mempunyai semangat belajar dan mau mengikuti pendidikan. (*)