OPINI: Tahun ajaran baru kali ini sudah dimulai semenjak tanggal 13 Juli 2020. Tahun ajaran yang sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mengapa demikian? Kali ini pembelajaran dilakukan tidak dengan tatap muka melainkan dengan metode pembelajaran berbasis aplikasi online (daring). Sesuai intruksi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarin melalui Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid19.
Saat ini pembelajaran tahun ajaran baru telah berjalan sudah lebih dari dua minggu. Walaupun sebenarnya pembelajaran daring sudah dilakukan hampir menginjak 5 bulan dalam pelaksanaannya. Begitu banyak hal yang menjadi pengalaman baru, yang sebelumnya tidak pernah terbayang akan masa pandemi seperti ini.
Pembelajaran daring ini pun dapat dilakukan dengan berbagai aplikasi yang saat ini bukan hal baru. Syarat dari terlaksananaya pembelajaran daring adalah baik guru ataupun siswa harus memiliki gawai android. Dan tentunya didukung oleh kuota yang memadai. Faktanya masih ada siswa yang tidak memiliki HP sehingga pembelajaran tatap muka pun menjadi pilihan terakhir bagi siswa tersebut.
Diberitakan portaljember edisi 25 Juli 2020 dimana seorang siswa bernama Dimas tetap semangat belajar dan berangkat ke sekolah karena ketiadaan HP. Setiap hari ia berangkat dari rumahnya di Desa Pantiharjo, Kecamatan Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, dengan diantar ibunya. Pulangnya ia diantar seorang guru sampai ke rumahnya.
“Barangkali, bagi keluarganya, beras jauh lebih dibutuhkan daripada ponsel pintar dan kuota internet,” kata Kepala SMPN 1 Rembang Isti Chomawati, Kamis 23 Juli 2020.
Ayah Dimas hanya seorang nelayan dan Ibunya hanya seorang buruh pengeringan ikan. Dan penulis yakin masih banyak pelajar yang nasibnya sama dengan Dimas. Problem terkait pembelajaran daring pun terjadi seperti dilansir Merdeka.com – edisi 26 Juni 2020 Tinggal di daerah terpencil, menjadi cerita sendiri bagi murid dan guru di masa pandemi covid-19. Mereka harus mengeluarkan daya ekstra agar bisa belajar.
Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari berbagai akses kehidupan saat ini. Untuk menuju kampung Todang Ili Gai, harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer dengan jalan setapak yang berbukit. Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, kehidupan masyarakat kampung Todang memang masih jauh dari semua akses baik, listrik, jalan hingga telekomunikasi.
Selama masa pandemi Corona, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tidak bisa terlaksana karena diliburkan oleh pemerintah untuk mencegah penularan virus asal Wuhan, China itu.
Pemerintah Kabupaten Sikka, melalui Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (PKO) pun membuat kebijakan pembelajaran melalui radio bagi murid Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Sulitnya pembelajaran di masa pandemic ini pun sangat terasa oleh sebagian guru. Masih ditemui orang tua yang kurang respon saat pembelajaran daring membuat guru banyak mengeluhkan kondisi seperti ini. HP yang di bawa oleh orang tua karena bekerja membuat anak pun akhirnya harus menunggu pulangnya orangtua ke rumah. Belum lagi dengan kusulitan pada saat membimbing anak belajar karena tidak semua orang tua memiliki ilmu dalam membimbing siswa untuk proses pembelajaran daring.
Kuota pun kadang menjadi salah satu factor pembelajaran tidak terlaksana, karena faktanya tanpa kuota yang cukup tidak akan mampu membuka aplikasi yang mengharuskan video semisal zoom.
Penulis pernah bertemu dengan seorang ibu yang mengeluh saat metode pembelajaran daring ini dilakukan. Ketidakmampuan menangani anaknya yang duduk di kelas III dan superaktif ini menjadikan justru tensi darahnya malah sering naik. Dilansir dari www.Asumsi.co 12 Mei 2020 bahwa pembelajaran daring ini merupakan gagasan cemerlang, namun penerapannya yang kurang. Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta murid di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi COVID-19. Namun, riset terbaru dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) mendapati bahwa program tersebut tak diwujudkan dengan baik di lapangan.
Riset terbaru dari Inovasi, terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur mengonfirmasi ketimpangan tersebut. Sebelum ada putusan resmi Kemendikbud, 76% orang tua murid mengaku telah mulai menerapkan kebijakan belajar dari rumah sejak pekan ketiga (16-22) Maret.
Namun, kenyataannya, hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring untuk belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring. Adapun 66% pelajar menggunakan buku dan lembar kerja siswa, dan 6% orang tua menyatakan tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah.
Problem dalam pembelajaran secara daring, adalah siswa tidak mempunyai gawai android, sehingga sebagai wali kelas guru rela mengajar di rumah agar siswa tidak tertinggal pelajaran. Ada yang mempunyai ponsel android, tetapi orang tua mengeluh biaya pulsa atau paketan. Jadi, tidak bisa aktif semua.
Selain keterbatasan ekonomi, beberapa siswa di daerah pegunungan di perbatasan Sumowono, Kabupaten Semarang-Temanggung punya cerita yang serupa. Setiap hari mereka harus berjalan hingga satu kilometer dari desanya untuk mencari sinyal.
“Kami kesulitan sinyal karena desa kami berada di balik perbukitan. Setiap hari, saya bersama teman lain mendatangi tempat yang dapat menjangkau sinyal telepon untuk dapat mengikuti pelajaran secara daring,” ungkap Irma, pelajar SMP di Sumowono, Kabupaten Semarang. (Mediaindonesia.com edisi 24 Juli 2020).
Semoga pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang dapat membantu agar pembelajaran dan pendidikan terus berjalan dengan baik. Bukankah merupakan amanat dari undang-undang bahwa semua warga negara berhak atas pendidikan. Masa pandemic ini masa pembelajaran juga bagi kita. Yang sebelumnya kita tak pernah melakukan hal yang seperti ini.
Kekayaan bumi pertiwi seharusnya diupayakan untuk hajat hidup rakyat, dan seharusnya pula saat ini. Pendidikan masa pandemic merupakan kebutuhan yang tak bisa ditunda. Harga kuota dan paket yang murah saat ini bisa menjadi solusi sementara terkait pembelajaran daring.
Apalagi, dalam Islam sungguh pendidikan adalah hal yang tak bisa ditunda. Islam sangat mendorong rakyatnya untuk terus menimba ilmu. Peradaban islam pernah mencatat, bagaimana pemerintahan Islam mampu mengatasi wabah yang saat itu disebut dengan Tho’un. Kedisiplinan rakyat kala itu membuat wabah bisa diatasi.
Saat ini, seolah kata disiplin hanya sebagai hiasan, sehingga ketidakkompakan antara kebijakan yang satu dengan yang lain membuat rakyat tidak disiplin. Disatu sisi harus karantina melalui pembelajaran daring. Di sisi lain, mall, tempat wisata dan fasilitas umum lainnya tetap terbuka. Lalu sampai kapankah kondisi ini akan berakhir? Wallahua’lam