OPINI– Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, menerbitkan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengakomodir aspirasi rakyat dan menyelamatkan negara dari keadaan genting (darurat) tentu pilihan yang harus dilakukan Presiden. Secara teoritis, tindakan-tindakan Presiden tersebut berlandaskan pada teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Staatsnoodrecht berarti keadaan darurat negara sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie, 2007).
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menunda penyelenggaraan Pilkada 2020 dinilai sudah memenuhi syarat untuk diterbitkan Presiden, mengingat pandemi global Covid-19 yang mulai menyebar di berbagai wilayah dan mengancam seluruh warga negara Indonesia. Sekarang ini , KPU sudah mengeluarkan surat keputusan penundaan Pilkada 2020. Ada tiga tahapan yang ditunda dan itu penting yaitu pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi bakal calon perseorangan serta rekrutmen Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pencocokan, dan penelitian (coklit) data pemilih.
Menurut penulis, ketiga tahapan tersebut penting dan tidak dapat digabung. Pertama, tahap pembentukan dan pelantikan PPS itu adalah perintah Undang-Undang, karena PPS merupakan ujung tombak penyelenggara di tinggat Desa/Kelurahan yang nantinya menunjuk Petugas PPDP untuk dilaksanakan coklit data pemilih sehingga untuk menghitung ada berapa data pemilih? ada dimana? kotak suara berapa? TPS berapa? Jika semua tahapan itu ditunda entah sampai kapan penyelenggara berada dalam ketidakpastian hukum. Dan yang lebih urgent saat ini belum ada kepastian perlindungan penyelenggara. Bagaimana jaminan kesehatan saat petugas coklit bertemu dengan ratusan ribu masyarakat terlebih saat ini terdapat virus corona atau Covid-19 yang tersebar.
Kedua, calon perseorangan ada 147 calon perseorangan di seluruh Indonesia, apakah mereka berhak menjadi calon dan proses penentuan berapa jumlah pemilihnya. Semua itu harus dipikirkan jangka panjangnya oleh pemerintah. Semua itu bisa terlaksana kalau ada penundaan. Maka, pemerintah harus menerbitkan Perppu terkait penundaan Pilkada 2020.
Meskipun begitu sebelum mengeluarkan Perppu Penundaan Pilkada, Presiden juga harus tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang mengatur Syarat lahirnya Perppu adalah kegentingan yang memaksa. Apa itu kegentingan yang memaksa? Kewenangan Presiden membuat Perppu lahir dari Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Namun apa yang dimaksud ‘kegentingan yang memaksa’? Tidak dijelaskan dalam UUD 1945.
Menurut putusan MK 138/PUU-VII/2009, tafsir kegentingan yang memaksa adalah:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut MK, pembuatan Perppu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perppu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Jika berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 PUU/VIII/2009 di atas syarat untuk dapat dikeluarkannya perppu yaitu Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Jika memperhatikan Pasal 201 Ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyatakan, Pilkada dijadwalkan pada bulan September 2020 , maka dapat dipastikan tidak mungkin dilaksanakan dan menimbulkan masalah. Sehingga harus diselesaikan sesuai UU, sementara KPU tidak berwenang membuat ataupun merubah UU sehingga Presiden harus mengeluarkan Perppu agar jadwal pelaksanaan Pilkada mempunyai kepastian hukum yang jelas.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tapi tidak menyelesaikan masalah. UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tidak dapat menyelesaikan masalah karena tidak memiliki ketentuan yang memberikan alternatif yang mengatur proses penyelenggaraan pilkada apabila terjadi bencana dengan waktu yang tidak pasti. Ketidakpastian yang dimaksud adalah soal pandemi Covid-19 yang tidak memiliki kepastian kapan akan berakhir.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena menggunakan waktu yang cukup lama. Jika opsi yang di usulkan KPU menunda Pilkada 2020 selama 1 tahun tentu tidak sejalan dengan Putusan MK karena jika berdasar pada putusan MK, keadaan mendesak harus diselesaikan seketika itu juga. Jadi perlu kepastian hukum agar problematika yang dihadapi menjelang tahapan Pilkada bisa diselesaikan dan penyelenggara bisa memikirkan hal-hal lain untuk proses penyelenggaraan ke depannya.
Oleh karena itu, ketiga syarat tersebut di atas sudah sangat memungkinkan untuk Presiden menyatakan bahwa telah ada hal ihwal kegentingan memaksa. Dengan demikian, diperlukan Perppu untuk menyelamatkan proses penyelenggaraan pilkada agar pelaksanaan pesta demokrasi di daerah serta pemenuhan hak memilih dan di pilih setiap warga negara mempunyai landasan yuridis yang jelas. (*)