Oleh : Suherman Syach (Mantan Guru Sekolah)
OPINI — Teks pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim pada peringatan hari guru menjadi trending topic. Banyak yang membicarakan, memuji dan menyanjung.
Pidatonya terdengar baru, singkat dan mensugesti. Para guru dan pemerhati pendidikan terkesima dan bertepuk dada. “Ini lah Menteri Pendidikan yang kami harapkan,” asa mereka dalam hati.
Saya pun tergoda membaca pidato itu. Kontennya memang singkat, padat dan lugas. Tak lazimnya pidato kenegaraan. Tapi itu lah gaya milenial sang Menteri muda. Guru-guru milenial rupanya terpesona dengan itu.
Tapi saya tak tergoda. Begitu salah satu guru milenial menyatakan “suka” pidato itu di dinding facebooknya. Saya pun menuliskan komentar “masih normatif dan hampa”. Guru milenial lainnya unjuk rasa. Pernyataan sikap saya, dianggapnya keliru.
Bagi saya, pidato Nadiem ini biasa-biasa saja. Biasa, karena wacana yang dibangun, sedari dulu berseliweran dibenak dan alam pikiran saya. Wacana-wacana itu telah memenuhi ruang-ruang diskusi para pemerhati pendidikan. Deretan buku, juga sudah mengulasnya.
Pada praktis pendidikan dan pengajaran. Wacana yang dikemukakan sang Menteri sudah terpraktikkan, dilakukan dan dialami guru-guru di sekolah. Baik yang menjadi kegalauannya (negatif) mau pun harapannya.
Sejak dari dulu, guru sudah bergelut dengan administrasi (pengajaran dan kepegawaian). Pergantian kurikulum 11 kali sejak tahun 1947. Mengejar standar evaluasi (penilaian) dari pemerintah. Birokrasi pendidikan dan bahkan politisasi pendidikan.
Harapannya pun, sudah lama diikhtiarkan oleh guru. Guru selalu berusaha melakukan perubahan. Pembelajaran yang inovatif, kolaboratif, kontekstual, koperatif dan berbagai varian metode pembelajaran lain. Guru kita selalu mau belajar, demi mengajar dan mendidik.
Hanya saja, ekspektasi yang sedemikian tinggi membuat mereka kelihatan seperti bodoh, tertinggal dan terkebelakang. Guru manusia biasa. Tapi masyarakat dan bahkan negara terkadang ingin menjadikan mereka seperti “Nabi dan Malaikat”.
Yang saya tunggu dari pidato Nadiem adalah jawaban dari keresahaan dan harapan terhadap dunia pendidikan. Nadiem Anwar Makarim adalah Mendikbud RI. Tugasnya membuat regulasi dan kebijakan pendidikan. Kita tunggu, seperti apa regulasinya dalam memecahkan sederet keresahan yang disebutkan dalam pidatonya. Kita tunggu, regulasi apa yang dikeluarkan untuk mewujudkan harapan-harapannya.
Saya ber-ekspektasi besar terhadap Menteri usia milenial ini. Usianya yang baru 35 tahun, cocoknya jadi Ketua KNPI. Tapi negera telah membentangkan lapangan pengabdian. Presiden menaruh harapan besar padanya. Demikian juga kita sebagai rakyatnya.
Gelora mudanya, pasti menuntut perubahan. Ada banyak isu-isu perubahan pendidikan yang perlu diakomodir dan diregulasikan. Seperti memperpendek masa jenjang pendidikan (gelar sarjana bisa diraih diusia 20 tahun), sistem penilaian (evaluasi), nasib guru honorer, birokrasi dan administrasi, kesejahteraan dan peningkatan SDM guru, sarana prasarana, teknologi informasi, budaya pendidikan dan lain-lain.
Tugasnya pak Mendikbud RI, sesungguhnya sangat mulia, tetapi juga super sulit. Pak Nadiem ditugaskan membenahi sistem pendidikan, mulai dari TK sampai PT. Sudah banyak Professor pada posisi itu. Tapi hampir semua menuai ketidak puasan. Semoga saja, tanpa gelar professor pak Nadiem mampu meretas problematika pendidikan kita. Silahkan pak Nadiem membuat regulasi. Kami akan dukung dan mengkritisi jika salah.
Semoga dunia pendidikan kita menjadi nyaman, senyaman layanan Go-Jek. (*)