SIDRAP, PIJARNEWS.COM–Transformasi taktik makin cair dalam sepak bola, membuat striker alias penyerang memiliki banyak varian. Dari tipe ujung tombak (target man) seperti Romelu Lukaku, penyerang sayap (wide target man) macam Kylian Mbappe, hingga penyerang palsu (false nine) serupa Cody Gakpo.
Masih banyak versi lain yang populer, sebut saja striker oportunis (poacher) bak Filippo Inzaghi, striker jemput bola (deep lying forward) sebagaimana Wout Weghorst, dan complete forward sejenis Erling Haaland.
Namun pernahkah anda mendengar tipe striker “tadah hujan”? Rasanya istilah ini masih asing, bahkan sama sekali belum pernah terdengar, padahal orangnya banyak di sekitar kita.
Istilah ini mencuat saat tim Futsal OTW asal Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) menjajal lapangan mini soccer di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sabtu (19/6/2023) sore. Agung Mini Soccer, nama lapangan itu, baru diresmikan 5 hari sebelumnya.
Agus, salah satu anggota tim mencetuskan istilah nyeleneh itu bagi rekannya yang diplot sebagai striker. Maksudnya tak lain mengkritisi rekannya yang cuma menunggu disuapi bola di depan gawang lawan.
“Susah, strikernya tadah hujan,” seru Agus spontan sambil tersenyum agak sinis.
Frasa tadah hujan sejatinya lebih identik dengan sawah. Yah, Agus mengibaratkan strikernya dengan sawah tadah hujan yang sangat mengandalkan air dari langit. Sawah tadah hujan tidak tersentuh irigasi teknis (nonirigasi).
Agus wajar akrab dengan frasa ini. Di Bumi Nene Mallomo, julukan Kabupaten Sidrap, ada sekitar 11 ribu hektar sawah nonirigasi dari total 50 ribu hektar lahan sawah. Saat kemarau bertepatan musim tanam, petani harus menempuh alternatif agar sawah jenis ini produktif.
Pompanisasi dipilih, kekinian mesin pompa dimodifikasi menggunakan bahan bakar gas (tepatnya tabung gas LPG 3 kg), alih-alih BBM. Katanya sih lebih praktis dan enteng dari segi biaya.
Namun konsekuensinya, penggunaan untuk pertanian jadi masif menggerus kuota yang sesungguhnya untuk rumah tangga dan UMKM. Ujung-ujungnya si melon sudah didapat, harganya melonjak mencapai Rp30 ribu, bahkan lebih. Rasanya solutif kalau ada tambahan kuota khusus untuk pertanian.
Kembali ke striker “tadah hujan” dan rekan-rekannya di tim Futsal OTW yang asyik main mini soccer. Semangat dan antusias terpancar jelas saat mereka melakoni olahraga turunan sepak bola itu. Dengan berseri-seri dan gagah berani, mereka melangkah masuk lapangan mini soccer yang luasnya dua kali lipat dari futsal. Nyatanya saat bermain, banyak yang ngos-ngosan.
Mini soccer saat ini memang menjadi tren di masyarakat. Laga 7 lawan 7 ini, menjadi jalan tengah bagi mereka yang merasa lapangan sepak bola kelewat luas, sementara futsal agak sempit. Apa yang langka ditemui dalam futsal, macam duel udara saat tendangan sudut, atau adu cepat mengejar umpan terobosan, lumrah terjadi di mini soccer.
Sebaliknya, mini soccer juga punya keunggulan futsal yang tidak ada pada sepak bola. Misalnya jaring keliling lapangan yang bikin terbebas dari memungut bola, dan terutama rumput lapangan sintetis yang rata dan empuk bak lapangan stadion luar negeri.
Dari sisi ekonomi, mini soccer ini boleh jadi bisnis menjanjikan walau biaya pembuatannya tidak sedikit. Sewanya bisa mencapai Rp600 ribu per jam, belum lagi jasa fotografer Rp200 ribu, serta wasit Rp100 ribu sekali main. Ada juga sewa rompi.
Peminat mini soccer bejibun. Termasuk Futsal OTW yang rela menempuh 136 km dari Kota Pangkajene Sidrap ke Kecamatan Pangkajene Pangkep. Bukan apanya, di Kabupaten Sidrap bahkan wilayah Ajatappareng belum ada arena tersebut.
Makanya tim Futsal OTW bersama striker tadah hujannya harus keluar daerah berburu mini soccer, sementara dalam daerah sawah tadah hujan berburu tabung gas. (*)
Penulis: Yadin