OPINI — Hakekat eksistensi dan esensi undang-undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bukan hanya terbatas untuk menjerat pelaku kotor atau curang dalam rangka proses pemilihan kepala daerah . Tetapi hakekat yang sesungguhnya adalah terlaksananya pemilihan kepala daerah yang bersih dan berwibawa sebagai perwujudan kemenangan rakyat.
Sungguh hal yang sangat naif pemilihan kepala daerah bersih dan berwibawa bila pelanggaran terhadap perundangan – undangan pemilihan kepala daerah diabaikan berlalu begitu saja, tanpa adanya upaya hukum yang semestinya.
Mengingat negara kita adalah negara hukum, maka semua elemen bangsa ini harus taat dan patuh pada hukum tanpa adanya perlakuan istimewa terhadap orang atau pihak tertentu.
Tindak Pidana Biasa
Tindak Pidana yang tertuang dalam undang – undang pemilihan kepala daerah adalah tindak pidana biasa. Haĺ ini berarti bahwa pelanggaran hukum yang terjadi sehubungan dengan proses pemilihan kepala daerah, aparat penegak hukum, panwaslu maupun KPU tidak tergantung pada adanya laporan dari masyarakat atau pihak lain dalam bertindak.
Tindak Pidana formil.
Tindak Pidana yang tertuang pada undang. – undang No. 10 Tahun 2016 khususnya pada pasal 87 adalah tindak pidana formil. Berarti setelah selesainya perbuatan tersebut dilakukan, maka tindak pidana tersebut telah selesai. Jadi tujuan maupun akibat dari perbuatan tersebut tidak perlu dibuktikan.
Calon, paslon, anggota partai politik, tim sukses maupun relawan atau pihak lain yang telah memberikan atau menjanjikan uang atau materi dalam bentuk lain untuk mempengaruhi atau mengarahkan warga negara Indonesia agar tidak menggunakan hak pilihnya, memilih calon tentu atau tidak memilih calon tertentu adalah temasuk perbuatan tindak pidana.
Bila calon, paslon, anggota partai politik, relawan atau pihak lain yang telah memberikan uang atau menjanjikan materi dalam hal lain. Maka pelaku perbuatan tersebut harus diproses hukum TANPA AMPUN demi tegaknya hukum yang berkeadilan. (*)