Benar-benar suasana yang baru….
Sekarang berapa umurku? Ya ampun sudah 17 tahun ternyata, dan aku sudah menjadi anak kuliahan. Memang tak bisa kupungkiri bahwa waktu berlalu begitu cepat, seperti angin yang terhembus. Dan disinilah aku, dikampus hijau STAIN Parepare, menapaki jalan menurun ke Gedung Tarbiyah, yang menjadi gedung paling bawah dilembah bukit. Jadi, aku akan memulai banyak hal disana. Menorehkan sebuah kenangan untuk masa depan.
Meski mulai ngos-ngosan tapi aku tetap bisa menikmati terpaan angin, dengan nakalnya memainkan rok dan jilbabku hingga melambai-lambai centil bak gaun putri mahkota. Panas matahari berusaha menyengat kulit cokelatku, sayangnya tak mempan, dan aku masih terus menikmati suasana lembah STAIN.
“Aduh!!,” seseorang menghancurkan imajinasiku. Ia menyenggol lenganku, membuat buku-buku disana lepas, jatuh menghantam rerumputan. Tentu saja aku kesal, keningku mengernyit memaksa alisku bertautan satu sama lain.
Seorang pria, berjongkok dihadapanku. Aku terperangah “Maaf yah! Ini bukunya,” itu saja, lalu ia berlari tergesa-gesa, seperti diburuh waktu.
Okay, begitu saja. Lalu aku kembali melanjutkan langkahku, bertemu dengan teman kelas baru didepan pintu utama. Kami sudah kenal satu sama lain, meski belum terlalu akrab. Sepekan waktu yang terlalu singkat untuk mengakrabkan diri dengan mereka semua.
“Ayo duduk sini!” Nisa menunjuk kursi kosong tepat disampingnya saat aku baru saja masuk kelas. Oh yah! Satu-satunya teman sekelas yang membuatku lebih hidup dikelas saat kami semua masih merasa asing. Dulu, Ia teman sekelas disekolah menengah pertama, dan beruntung aku sekelas dengannya lagi.
“Kupikir sudah terlambat,” gumamku. Kuletakkan buku-buku dan sesaat kemudian menyadari ada yang baru. Buku bersampul hitam polos terselip diantara buku Bahasa Inggris dan kamusku.
“Apa ini?” aku bertanya pada diriku sendiri. Namun Nisa, Karima dan Nita yang duduk berdekatan denganku menangkap semua kebingunganku. Mereka malah memperebutkan buku bersampul hitam tersebut.
Sekarang perhatianku teralih pada pria didepan ruangan kami, ia menatap lurus kearahku tanpa ekspresi. Dingin dan menyeramkan. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan dibalik wajah tampannya. Aku berusaha membuang pandanganku, tapi rasanya sukar untuk berpaling. Aku terpikat pada kejanggalan pria itu, pria yang mungkin tak sengaja menabrakku dijalan tadi.
Buk.. aku terperanjak kaget, buku bersampul hitam itu tergeletak dilantai. Gara-gara tiga temanku memperebutkannya. Mereka memungutnya lalu mengembalikan padaku, aku tertarik sekali membukanya namun dosen sudah memasuki ruangan. Aku menoleh sekejap untuk mencari sosok pria misterius tadi, tapi sudah menghilang. Ah.. membuatku penasaran tanpa alasan yang jelas.
Kelas usai… langit sudah mulai gelap. Jadwal hari ini memang agak telat dari biasanya, kami harus pulang saat senja datang dan semua kelas telah kosong. Dan ternyata kali ini aku lupa bukuku dalam kelas. Aku menaiki tangga lagi menuju lantai tiga sendirian. Temanku menunggu dilantai bawah. Kasihan kalau harus ikut naik, bukan hal yang mengerikan juga sebenarnya karena tadi aku sempat melihat salah seorang temanku masih duduk didalam kelas.
Pintu berdecit saat aku membukanya perlahan “Ya ampun!” seruku kaget, pria misterius yang menabrakku tadi berdiri disudut ruangan memandang keluar melalui jendela besar. Dia menoleh sekejap dengan tatapan anehnya. Perasaanku mulai tak enak, aku melangkah mendekati kursi dimana bukuku tertinggal. Akan tetapi buku bersampul hitam yang juga tertinggal disana tiba-tiba saja terbuka dengan sendirinya. Lembar demi lembar, seperti tertiup angin kencang padahal pendingin ruangan ataupun kipas angin sudah off. Peluh mengucur dipelipisku, sesegera mungkin kusambar buku-buku itu kedalam genggamanku dan berlari turun.
“Kemana teman sekelas yang tadi kulihat? Kenapa yang kudapati hanya pria misterius itu saja?” perasaanku tak karuan, bulu romaku menggigil.
***
“Kau membual!” Feby membuka mulut menyuarakan protesnya. Aku tahu cerita ini terdengar mengada-ngada oleh dua teman sekamarku yang saat itu tak ada bersamaku. Tapi itulah adanya. Aku hanya butuh pendapat dari mereka. Kenapa pria misterius itu menghantuiku? Aku sibuk mengatur nafas, lalu menghempaskan tubuhku ke lantai. Duduk lesu menyadari pertanyaan pada benakku itu masih mencari jawaban. Aku membuka buku bersampul hitam itu dengan rasa penasaran yang memuncak. Kuperhatikan dengan seksama.
“Ada namanya Lilya!” seru Rusna, Ia sibuk menunjuk-nunjuk sebuah kata disana yang ia klaim sebagai nama pemilik buku. “Syah,” gumam Rusna.
Tulisan yang rada acak-acakan, antara Syah dan Syam, aku tak bisa membacanya. Tinta tulisannya sudah memudar bahkan warna bukunya menguning. Aku yakin buku ini sangat berharga paling tidak bagi pemiliknya, sampai-sampai masih disimpan dengan keadaan antik begini. Ini seperti buku sejarah yang sudah bertahun-tahun terkubur. Aku membuka lembaran terakhir, setengah kertasnya robek.
‘hidup yang tak berguna… saat kekosongan benar-benar telah menyelimuti, cinta terbang menjauh, kasih enggan kembali, dan nafasku kubiarkan melayang mencari ketenangan…. jauh disana, adakah yang peduli? Atau dengan meniadakan diriku akan membantuku menemukan arti dari….’
Hanya itu, Membuatku bergidik ngeri, membayangkan betapa depresi penulis catatan ini. Yang kku tahu, tulisan ini menggambarkan sebuah keputusasaan seseorang dan paling mungkin mengakhiri hidup adalah pilihan. Tapi kenapa? Jangan bilang ini semua curahan orang kasmaran yang patah hati. Oh konyol sekali.
***
“Kalian tahu tidak, ada anak baru yang menemukan buku Syam. Bahkan dia berani membawanya pulang”
Bisikan demi bisikan itu akhirnya bisa terdengar jelas ditelingaku. Mahasiswa berkumpul depan Gedung Tarbiyah, beberapa dari mereka duduk diteras dan berdiri depan pintu. Padat sekali. Tapi aku masih bingung, rumor apa lagi yang tersebar? Jangan-jangan mereka berbicara tentang buku hitam itu, kemarin Rusna juga bilang ada nama Syam atau Syah yang tertulis. Tatapan Nita dan Karima teman seruanganku itu, membuat aku bertanya, “apa ada yang salah?”. Mereka menarikku memasuki gedung, lalu tiba-tiba menghentikanku tepat depan tangga.
Nita dan Karima siap menginterogasi “Buku yang kau tunjukkan dalam ruangan kemarin,” Ia mengambil jeda, menatap Karima dengan serius lalu menatapku lagi, “Coba ingat, kau temukan dimana? Atau seorang pria mungkin…”
“Tunggu” kata pria yang baru saja Nita sebut membuatku ingat pada pria yang menabrakku kemarin. Dia memungut bukuku, tanpa menoleh sedikitpun. Jadi buku bersampul hitam itu yang diributkan mahasiswa sekarang. Aku mengeluarkannya dari tas “Iya, kufikir pria yang menabrakku kemarin tak sengaja meninggalkan buku ini saat memungut bukuku yang jatuh karenanya”
“Astaga Lilya. Buku itu berhantu,” pekik Karima.
Buk… jariku refleks menjatuhkan buku bersampul hitam jatuh tergeletak pada lantai Gedung Tarbiyah. Semua orang berbalik, memperhatikan kami bertiga. Mereka semua mulai mendekat.
Ada banyak suara sekarang yang menyerang telingaku, mengacaukan fikiranku.
“Syam kan sudah meninggal”
“Ceritanya sudah menyebar kemana-mana”
“Kata beberapa senior seangkatannya, Ia meninggal bunuh diri”
“Tidak, dia meninggal karena dibunuh selingkuhan pacarnya”
“Katanya dia mahasiswa tampan yang populer”
“Dia berbakat dalam menulis puisi”
“Orang tuanya pernah datang membuat pengumuman tentang buku itu”
“Pengumuman apa?”
“Katanya, siapa yang menemukan buku Syam bersampul hitam mohon dikembalikan, arwahnya gentayangan”
“Saudaranya bilang, syam pernah berpesan agar buku itu dibaca oleh seseorang yang ia pilih untuk membacanya”
“Aduh menyeramkan sekali”
“Kematiannya masih penuh teka-teki”
“Sayang sekali, aset berharga jurusan tarbiyah meninggal”
“Mahasiswa baru itu yang jadi pilihan Syam”
“Dia beruntung jika Syam masih hidup”
“Sayangnya yang memilihnya hanya arwah gentayangan”
“Dimana ia menemukan buku itu”
Banya sekali bisikan-bisikan, seolah ada alat yang dipasang ditelingaku untuk mendengar semuanya. Membuat atmosfer berubah seketika. Jari kakiku dingin, seperti tak menyentuh lantai lagi. Tiba-tiba saja seantero ruangan menjadi kosong. Aku melihat pria dengan pakaian sama mendekat padaku, wajah tampannya pucat pasih dengan darah didahi sebelah kirinya. Ia menunjuk buku yang ada dilantai, darah menetes dari matanya. Kemudian ia tersenyum, entah apa artinya itu. Aku semakin gemetar.
“Selamat datang di kampus hijau, kau gadis satu-satunya yang bisa membaca buku diary ku. Aku menyayangimu Lilya. Aku selalu menunggumu digedung ini”, suaranya pelan, serak seperti dipaksakan.
“Pergi kau!” aku bisa merasakan bibirku bergerak saat kuteriakkan kata itu. Tubuhku limbung, nafasku memburu. Kemana semua orang? Bantu aku mengusir hantu itu.
“Lilya!” namaku terdengar, seseorang menggenggam tanganku. Aku sadar, pria tampan berwajah pucat itu hilang. Orang-orang mengerumuniku, perasaanku mendadak jadi tak enak.
Lalu semuanya gelap……
oleh
Hamsiani
Mahasiswi Semester I STAIN Parepare