OPINI — Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17 ribu lebih pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia kaya akan keragaman budaya dan tradisi. Adat istiadat sendiri merupakan suatu perilaku atau kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun yang dilakukan secara berulang dan menjadi ciri khas dari suatu daerah.
Sama halnya dengan tradisi yang masih sering dilakukan oleh beberapa masyarkat Sulawesi Selatan dan masih berkembang sampai sekarang yaitu pada salah satu masyarakat bugis tepatnya yang berada di Desa Ujung Mattajang, Kabupaten Luwu Utara (Lutra).
Bagi suku Bugis, pindah rumah berarti pindah yang sebenar-benarnya. Mereka
memindahkan rumah, berupa bangunan rumah, dan barang-barang. Tradisi memindahkan rumah ini disebut ‘Mappalette Bola’.
Biasanya tradisi Mappalette Bola dilakukan jika pemilik rumah ingin pindah dan menjual rumahnya tetapi tidak dengan tanahnya. Tradisi Mappalette Bola oleh masyarakat Suku Bugis di Sulawesi Selatan yang berlandaskan asas gotong royong mencerminkan kebersamaan
yang tumbuh di tengah masyarakat dan sarat akan muatan kebaikan.
Mappalette Bola sendiri ialah tradisi gotong royong memindahkan rumah pada Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan. Tradisi gotong royong ini masih hidup di tengah masyarakat Desa Ujung Mattajang, Kecamatan Mappedeceng, Kabupaten Luwu Utara. Hingga kini tradisi ini masih mengakar sampai sekarang. Meski rumah di daerah tersebut hampir semua terbuat dari batako, tak jarang warga Desa Ujung Mattajang tersebut masih menggunakan rumah panggung yang terbuat dari panggung.
Tradisi Marakka Bola sendiri biasa dikenal juga dengan sebutan “mara’kka/ma’bule yang secara turun temurun masih dilakukan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Diantaranya yaitu di Desa Ujung Mattajang sendiri, dimana setiap warga yang ingin memindahkan rumahnya ke lokasi baru maka tradisi Mappalette Bola dilakukan dengan dibantu warga sekitar.
Berdasarkan pendapat narasumber atau warga Desa Ujung Mattajang, Hj Sati mengatakan, sebelum rumah diangkat ada tradisi ma bac’a-bac’a doa atau membaca doa disertai dengan nanr’e makkoring (nasi yang masih ada dipanci, red) dan kue 7 rupa.
Dalam wawancara tersebut, Sati menjelaskan bahwa kegiatan tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang Allah SWT berikan. Kegiatan itu juga bertujuan meminta keberkahan atas rumah baru tersebut. Usai baca doa, dilanjutkan dengan makan bersama dengan warga.
Ma’ Baca-baca sendiri merupakan sebuah ritual adat Bugis yang diartikan membaca doa dihadapan hidangan makanan yang masih dilestarikan hingga kini dihadapan sesepuh akan diletakkan makanan yang telah ditata dalam sebuah nampan yang orang Bugis menyebutnya “Bakik” kemudian dilengkapi dengan tungku kecil yang disebut dupa-dupa yang berisikan bara api.
Dalam proses pemindahan rumah warga tersebut tidak terbilang ringan bahkan mencapai beberapa ton. Maka dari itu pemindahan rumah dilakukan puluhan laki-laki yang dipimpin oleh ketua adat yang akan memberikan aba-aba untuk mengangkat rumah tersebut. Untuk memudahkan warga mengangkat rumah maka dibutuhkan bambu untuk menyangga setiap tiang rumah agar memudahkan warga untuk mengangkatnya. Ada dua macam cara proses pemindahan rumah, yaitu dengan cara diangkat dan didorong. Jika jarak pemindahan dekat maka akan dilakukan dengan cara didorong, tapi jika jaraknya cukup jauh maka dilakukan dengan cara diangkat.
Tujuannya agar rumah yang baru saja dipindahkan terhindar dari bencana dan malapetaka. Tradisi lalu diakhiri dengan acara makan bersama sebagai bentuk ikatan silaturahmi yang erat antara warga. Usai mengangkat rumah warga menyantap makanan yang disediakan pemilik rumah. Penyedian makanan tersebut sebagai ungkapan terimah kasih. (*)