JAKARTA, PIJARNEWS.COM-– Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M. Budi Djatmiko mempertanyakan mekanisme penutupan atau pencabutan izin 23 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang dilakukan Kemendikbudristek.
Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 4 Jawa Barat dan Banten Samsuri mengatakan, pencabutan izin operasional PTS itu karena melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Menurut Samsuri, secara umum, ada PTS yang ditutup sendiri atau karena merger dengan PTS lain. Sementara itu, penutupan oleh pemerintah disebabkan PTS atau program studinya memberikan ijazah atau gelar akademik kepada orang yang tidak berhak. “Misalnya, tidak kuliah, tapi dikasih ijazah. Itu jadi pelanggaran,” katanya.
Kemudian, ada kasus PTS yang menerima mahasiswa baru dengan tujuan komersial. Ada juga PTS yang melakukan penyimpangan uang bantuan negara, misalnya untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP)-Kuliah. Beberapa pelanggaran lain, yaitu PTS yang tidak terakreditasi, tetapi mengeluarkan gelar akademik dan tidak melakukan proses pembelajaran sesuai standar nasional pendidikan.
Perlu Evaluasi
Salah satu dosen di Surabaya Dr. Vidia Gati menyesalkan terjadinya penutupan ini. Dilansir dari MNews, Senin (19/6/2023), ia menegaskan perlu adanya evaluasi sistem pendidikan saat ini.
“Praktik “nakal” terjadi seolah seperti supply demand. Saat ini, kebutuhan orang untuk menuntut ilmu lebih disebabkan untuk meningkatkan status, memudahkan mendapat pekerjaan, dan untuk naik jabatan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan selembar ijazah dan muncul pihak yang menyediakannya. Oleh karenanya, perlu kemauan untuk mengevaluasi sistem pendidikan saat ini,” ungkapnya.
Ia menyatakan, lembaga keilmuan seharusnya mampu meningkatkan kapasitas dan skill keilmuan peserta didik sehingga membawa kebermanfaatan yang lebih luas lagi. “Namun, upaya ini tercederai dengan motif materi sehingga melecehkan proses untuk mendapatkan ilmu dan mengedepankan cara- cara instan,” ucapnya.
Menjadi Industri
Pendidikan saat ini, jelas Vidia, sudah menjadi industri yang lebih mengedepankan apa yang diinginkan oleh pengguna atau korporasi.
“Pendidikan tidak lagi dalam rangka menyediakan sejumlah sumber daya manusia yang mampu mewarnai masyarakat dan membuat makin meningkat martabatnya. Budaya sekuler turut memperparah kondisi ini yang terlihat dari ouput pendidikan yang dinilai sebatas capaian indeks prestasi kumulatif, masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan, diterima di perusahaan mana, sampai berapa gaji yang didapatkan,” ujarnya.
Menurutnya, belum tampak ukuran output pendidikan yang fokus pada ketakwaan individu, akhlak peserta didik, dan pengaruh atau kebermanfaatan kepada sesama. “Seharusnya makin tinggi pendidikan akan membuat orang tersebut makin tunduk, meningkat ketakwaan, dan besar rasa takutnya kepada Allah,” jelasnya.
Ia menggambarkan, profil generasi ensiklopedis yang menguasai ilmu dunia akhirat secara masal sesungguhnya telah dilahirkan dari peradaban Islam di masa lalu. “Untuk itu, dibutuhkan kemauan untuk mengambil sistem pendidikan Islam dengan penerapan Islam kafah untuk lahirnya generasi yang lebih baik,” tandasnya.
Pelanggaran
Senada dengan hal itu, praktisi pendidikan Dr. Retno Palupi, M.Kes. mengutarakan kepada MNews, bahwa perguruan tinggi seharusnya menjadi wadah pencetak intelektual berkepribadian kuat, tetapi sayangnya justru institusi ini sendiri yang melakukan pelanggaran dan kecurangan.
“Kecurangan itu sendiri dapat terjadi, baik dari individu, masyarakat, maupun negara. Unsur individu berperan penting, mengingat individu sebagai pelaku dalam proses pembelajaran, baik itu individu sebagai penyelenggara pendidikan maupun sebagai peserta didik. Maka yang terlibat langsung melakukan pelanggaran dan kecurangan tersebut adalah individu,” jelasnya.
Hanya saja, lanjutnya, individu bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pelanggaran tersebut. “Jual beli ijazah atau pembelajaran fiktif, misalnya, hanya akan terjadi jika ada permintaan dari masyarakat. Betapa banyak orang yang mencari perguruan tinggi yang bisa mengeluarkan ijazah secara instan tanpa harus mengikuti jadwal pembelajaran karena yang mereka butuhkan hanya ijazah untuk keperluan kenaikan pangkat dan jabatan. Fenomena yang memprihatinkan dunia pendidikan,” urainya.
Satu unsur lagi, ujarnya, yang menjadi faktor utama yang memunculkan peluang kecurangan dan pelanggaran itu adalah sistem pendidikan yang tidak adekuat (memenuhi syarat-red.).
“Perguruan tinggi akan kuat apabila dibangun atas dasar akidah sehingga membentuk kepribadian mahasiswa bertakwa dan mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Iman dan ilmu tak bisa dipisahkan,” ujarnya.
Ia menyayangkan, bagaimana mungkin terwujud intelektual yang mumpuni dalam ilmu sekaligus bertakwa kepada Allah apabila selama proses pendidikan tinggi hanya dibekali dengan 2—4 SKS mata kuliah agama.
“Tidak selaras antara bekal ilmu dan bekal agama, bahkan memisahkan antara ilmu dan agama. jika ingin mumpuni dalam ilmu dunia kuliahnya di perguruan tinggi umum, sebaliknya jika ingin mumpuni dalam ilmu agama, kuliahnya di perguruan tinggi agama. Inilah yang disebut sekuler. Pendidikan sekuler akan membentuk intelektual mudah berbuat curang dan melanggar aturan karena di perguruan tinggi tidak dibentuk untuk takut kepada Allah Sang Pencipta,” kritiknya.
Ia mengulas, peluang terjadi kecurangan dan pelanggaran PT juga terjadi karena pengelolaan perguruan tinggi diserahkan pada pihak lain, bisa swasta atau yayasan. “Ini memberi peluang pagi pengelola untuk berbuat curang. Pantang bagi negara menyerahkan urusan pendidikan pada swasta, asing atau pada yayasan. Tidak pula menyerahkan tanggung jawab pengelolaan institusi perguruan tinggi dengan dalih Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN-BH,” jelasnya.
Negara adalah Penanggung Jawab
Untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang unggul, Retno menuturkan, negara adalah penanggung jawab utama sistem pendidikan.
“Negara tidak hanya hadir sebagai pembina atau pencabut izin operasi, tetapi negara menjadi penentu arah sistem pendidikan tinggi mulai dari penentuan visi, misi, merumuskan kurikulum, menanggung pembiayaan pendidikan tinggi, menyediakan staf pengajar, memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana, dan semua aspek dalam sistem pendidikan tinggi,” paparnya.
Memang, ia mengatakan, ini butuh biaya besar. “Dengan kondisi negara yang SDA-nya diekploitasi oleh negara lain, negara tidak mampu menanggung seluruh biaya pengelolaan pendidikan tinggi sehingga tidak mungkin mewujudkan sistem pendidikan tinggi yang ideal. Hanya Islam yang dapat mewujudkan kembalinya sistem pendidikan tinggi yang mumpuni seperti masa kekhalifahan,” pungkasnya. (*)
Sumber: Muslimah News.net