OPINI, PIJARNEWS.COM — Politik Indonesia, setidaknya sejak Orde Baru, didominasi para senior. Belakangan, generasi milenial pun mencoba merebut posisi. Apakah mereka akan menjadi warna baru? Di tahun politik 2018 dan 2019, generasi milenial menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Salah satu persoalan yang menarik yaitu munculnya figur caleg milenial yang disebut dapat mewakili kalangan anak muda untuk tumbuh di ranah politik. Wajar saja jika partai politik tertarik untuk mengusung anak muda ikut menjadi caleg yang diharapkan menjadi alternatif agar dapat dengan mudah mendulang suara.
Mayoritas generasi milenial diusung maju menjadi caleg dengan dorongan citra positif yang mudah dikenal oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan transisi demokrasi Indonesia yang telah melahirkan babak baru dalam arena politik, yaitu pertarungan popularitas. Dalam kompetisi politik generasi milenial wajib mempopulerkan dirinya kepada publik pemilih secara meluas. Sebab popularitas menjadi faktor penting untuk suksesi kekuasaan di segala tingkatan. Secara teori mengenai perilaku pemilih seseorang akan terpilih atau tidak dalam kompetisi politik harus memenuhi harapan masyarakat melalui tiga tahapan diantaranya adalah popularitas, kapasitas dan elektabilitas.
Popularitas artinya sejauh mana publik mengenal seseorang yang terlibat dalam kompetisi politik. Secara mendalam hal ini akan dapat mendorong pemahaman pemilih untuk dapat menentukan kelayakan seseorang menjadi perwakilan publik.
Jika nilai kelayakan kandidat memadai, maka pasti akan meningkatkan tingkat elektabilitas seseorang. Sehingga tak heran jika seseorang yang memiliki tingkat kepopuleran yang tinggi akan mampu menggalang suara pemilih dengan tingkat yang tinggi pula.
Perhatian kita kali ini tertuju kepada latar belakang anak muda ini untuk ikut dalam kontestasi politik. Jika dilihat dari aspek psikologis, kalangan anak muda dapat dikatakan baru saja melewati masa-masa pencarian jati diri dan dianggap lemah mental dalam ranah politik.
Jika dikaitkan dengan partisipasi politik, tentu langkah ini dapat dikatakan langkah awal bagi generasi milenial untuk unjuk diri dalam ranah politik. Dikategorikan tujuan pencalonan generasi milenial dalam pemilihan legislatif dapat dimaksudkan positif dan negatif.
Pertama, pencalonan ini dapat diartikan positif bilamana generasi milenial didukung dengan mental dan kemampuan politik yang mewadahinya. Tentu kemampuan tersebut ada karena sebelumnya mereka ini pernah menempuh pendidikan politik, baik itu yang didapat dari partai politik ataupun instansi pendidikan. Kedua, pencalonan tersebut dikatakan negatif apabila pencalonan tersebut hanya ditujukan untuk eksistensi diri. Di sini jelas bahwa seorang anak muda yang mendaftarkan diri menjadi caleg hanya bertujuan untuk dikenal sebagai salah satu calon wakil rakyat agar dianggap keren oleh publik.
Jika dilihat dari mayoritas komposisi caleg milenial saat sekarang, khusus di Kota Parepare, dapat dibagi atas kalangan aktivis, pengusaha dan akademisi. Ketiga kalangan tersebut tersebar di beberapa partai politik yang tentunya telah di uji kelayakan oleh partai. Dukungan dari partai kepada caleg milenial ini dapat diartikan sebagai salah satu alternatif untuk meraih hati dan suara mayoritas pemilih.
Dukungan itu harus memberikan jaminan bahwa caleg yang di usung partai merupakan kader terbaik partai. Dan yang patut diperhatikan secara lebih dalam kapasitas serta kapabilitas dari caleg milenial sendiri, jangan sampai caleg millenial ini hanya menjadi obyek pelengkap agar partainya lolos verifikasi administrasi di KPU.
Para caleg Milenial harus memahami tugas pokok anggota DPRD yang melaksanakan fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan, selain memahami tiga fungsi tersebut, para caleg juga harus memiliki kecerdasan intelektual bukan kepintaran serta memiliki kepekaan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
Kita tahu bahwa peran DPRD atau peran seorang legislator begitu penting, karena dia merupakan representasi dari rakyat, sehingga rakyat juga harus lebih cerdas dalam melihat siapa yang mau diwakili atau rakyat, mau menunjuk siapa yang mewakili mereka, selama ini banyak pihak yang selalu mengharapkan agar kelak Parepare bisa berubah dengan memiliki legislator-legislator yang benar-benar memiliki peran yang maksimal, terhadap apa yang diinginkan oleh masyarakat Parepare, karena dengan melihat realita masih ada pragmatisme politik yang terjadi di sana.
Para caleg milenial harus memunculkan ide dan gagasan baru, serta apa yang harus dilakukan dalam persiapan menghadapi kontestasi pileg 2019 nanti. Jangan sampai para caleg milenial ini justru terjebak pada kebiasaan-kebiasan yang pendekatannya hanya melalui visualisasi gambar. Pendekatan ini banyak dilakukan Caleg Jadul, yang sudah bisa dilihat gelagatnya sejak Idul Fitri dan Idul Adha lalu.
Mayoritas lebih memilih memasang baliho besar di tepi jalan, daripada terjun langsung dalam program-program sosial bagi masyarakat. Atau masih tetap dengan gaya lama sesuai PKPU 23 Tahun 2018 seperti door to door, rapat umum, pertemuan terbatas dll.
Yang perlu di pahami para caleg milenial bahwa politik bukan matematika. Tidak ada ilmu pastinya, bahwa satu tambah satu akan sama dengan dua. Jadi, misalnya kita berteori, karena sering turun ke konstituen, kita rajin mendatangi mereka, maka kita akan lolos. Itu tidak ada teorinya. Jadi butuh strategi lain untuk meyakinkan para pemilih untuk memilih kita, misalnya sejauh mana kita telah berbuat untuk kepentingan rakyat? Ide dan gagasan apa yang bisa anda tawarkan ke publik saat terpilih nanti? Bagaimana caranya agar citra diri anda diketahui oleh publik?
Caleg dari kaum milenial akan menjadi potensial ketika tiap individunya memiliki kecakapan politik dan pendidikan politik yang mewadahinya sebagai calon legislatif. Dengan kombinasi antara kemampuan individual serta penguasaan media yang luas, kaum milenial bisa membentuk persepsi masyarakat dari sudut yang positif. Misalnya saja, dengan promosi diri sebagai bentuk marketing politik di media sosial dengan memberikan sentuhan edukasi yang dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat khususnya generasi milenial. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.