MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) menggelar Rapat Koordinasi Pelaksanaan Deradikalisasi Dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Kegiatan ini berlangsung di Hotel Swiss Bell Makassar, Jalan Boulevard Raya, Kecamatan Panakukang, dan menghadirkan para kepala Lambaga pemasyarakatan dari 12 provinsi yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Dalam kegiatan itu anggota komisi III, DPR-RI, Akbar Faizal hadir sebagai pembicara bersama dengan Zainal Arifin, Dirjen PAS mewakili Direktur Pimpinan dan latihan kerja produksi, Prof Dr Irfan Idris selaku Direktur Radikalisasi BNPT, dan Dr H. Muh Muamar Bakri Dari FKPT Sulsel.
Akbar Faizal menyatakan bahwa sebelum ada UU Terorisme yang baru (UU 5/2018), deradikalisasi berjalan kurang terkordinir. Banyak pelaku teror ternyata residivis. Bahkan ketika keluar dari penjara, mereka menjadi jauh lebih radikal.
Kini, deradikalisasi memiliki dasar legalitas yang jelas. Begitu juga dengan BNPT sebagai kordinator pelaksanaan deradikalisasi, secara kelembagaan telah diperkuat dalam UU yang baru.
“UU Terorisme yang baru adalah yang terbaik di dunia. Strukturnya sangat lengkap. Tidak hanya hard-approach, tapi juga soft-approach. Hanya di Indonesia pula negara bertanggung jawab terhadap korban”, ujar Akbar.
Akbar mengungkapkan bahwa Indonesia berada di peringkat 43 dari 134 negara dunia yang rawan terorisme. Meskipun tidak buruk, tapi jika aktivitas yang memunculkan perpecahan terus didengungkan tanpa pencegahan yang baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan semakin rentan dengan terorisme.
“Saya tidak bisa membayangkan ada pihak yang menyamakan pilpres dengan perang. Jika saja mereka tahu bagaimana kondisi negara-negara yang sedang berperang seperti Suriah, sangat menyedihkan dan mencekam di sana. Tidak seperti di Indonesia”. Tegas Akbar.
Deradikalisasi menurut Akbar dapat dilakukan dengan 4 pendekatan. Pertama pendekatan agama/ideologi dengan memberikan pemahanam Islam secara menyeluruh.
“Banyak orang menjadi teroris karena pemahaman agama yang minim. Hanya tahu sepenggal ayat, langsung jihad. Padahal Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian”. Ungkap Akbar.
Kedua, melalui pendekatan psikologis. Akbar menceritakan ada seorang napiter bernama Abdurrahman Ayyub yang taubat karena melihat seorang sipir yang mendirikan solat dan mengamalkan Al Qur’an lebih bagus dari dirinya. Ayyub merasa malu dengan paham jihadnya. Akhirnya dia bertaubat. Akbar menyatakan bahwa napiter dapat disentuh juga kejiwaannya dengan tingkah laku baik para sipir.
Ketiga, menggunakan pendekatan kemasyarakatan. Di mana napi diyakinkan bahwa setelah dia bebas dengan tidak lagi menjadi radikal, akan tetap banyak masyarakat yang menerima dirinya.
“Banyak napi sudah mengakui kekeliruannya mengenai sebuah paham. Namun ia takut untuk kembali mengucap sumpah setia NKRI. Karena takut ketika bebas, justru dicap pengkhianat oleh mantan kelompoknya. Sedangkan masyarakat juga tidak mau menerima. Akibatnya ia tidak jadi keluar dari radikalisme”. Jelas Akbar.
Keempat, menggunakan pendekatan sosial budaya dengan teknis disengagement. Napi dipantau dan dibatasi membaur dengan napi lain. Ini dilakukan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme di dalam lapas.
“Lapas ini bisa menjadi tempat berakhirnya radikalisme, tapi bisa juga menjadi rumah produksi jihadis baru. Oleh sebab itu, tugas kita bersama untuk merangkul kembali mereka yang terpapar radikalisme”. Pungkas Akbar.(rls/abd)