Menyiapkan sebuah peradaban yang tinggi, tidak lepas dari upaya menyiapkan generasi yang akan menjadi pemimpin peradaban. Perempuan menjadi sosok terpenting dalam pembentukan generasi calon pemimpin masa depan karena dari tangannya diletakkan dasar-dasar pembentukan kepribadian.
Di dalam Islam, sosok perempuan dalam kaitan perannya sebagai ibu, menjadi madrasatul ula atau pendidik yang paling pertama dalam fase awal kehidupan seorang anak. Ibu menjadi qudwah (teladan) dan sibghah (pencelup) kepribadian bagi seorang anak.
Harapan besar lahirnya sebuah peradaban gemilang, tampaknya masih menjadi sebatas mimpi. Pasalnya dalam sistem kapitalis sekuler ini, pilar peradaban yaitu perempuan masih terbelit dengan banyak masalah yang tak berujung. Idealisme perempuan kian tergerus dengan berbagai macam tuntutan terpenuhinya kebutuhan hidup yang semakin sulit, hingga memaksa perempuan untuk turut bergelut dalam dunia kerja menghabiskan waktu terbaiknya di luar rumah.
Institusi keluarga pun semakin terancam, berdasarkan data yang dikutip detik.com dari website Mahkamah Agung (MA), sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang tahun 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 kasus sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 kasus. (Detik news, 3/9/2019).
Kasus perceraian baik secara langsung maupun tidak langsung berimbas pada kondisi psikologi anak seperti trauma dan kondisi mental yang tidak stabil. Hal ini berpeluang memicu kenakalan remaja yang berujung pada tindakan kriminal, hingga kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) mencapai 7.689 kasus sepanjang 2011- 2016 (Republika.co.id, 7/10/2016).
Kasus ini terus meningkat jumlahnya sampai tahun 2019, dilaporkan oleh KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada laporan masalah kesehatan dan Napza (2.820 kasus) pornografi dan cyber crimre (3.323 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus). (Suara.com, 23/7/2019).
Kondisi semakin diperparah dengan provokasi kaum feminis yang mengiming-imingi dengan nikmat semu memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap sukses saat mampu mengaktualisasikan diri di semua sektor publik seperti laki-laki. Padahal menerjunkan diri hanya demi mencapai kesetaraan sama saja terjebak dalam sebuah jebakan Batman yang membuat perempuan kehilangan jati dirinya sebagai pemegang peran utama dalam mengatur rumah tangganya dan melakukan proses pendidikan terbaik bagi calon pemimpin peradaban.
CEDAW (Convention on ellimination of all forms of descrimination againts woment) adalah konvensi yang dibuat oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memperjuangkan hak perempuan dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 tahun 1984. Hal tersebut mengikat Indonesia untuk melaksanakan perlakuan untuk tidak membeda-bedakan hak perempuan dan laki-laki di segala bidang.
Melihat fakta ini, perjuangan kesetaraan ternyata bersumber dari pemikiran kaum feminis Barat, yang harus diterapkan di Indonesia sebagai salah satu anggota badan PBB. Padahal agenda sekularisasi agama sangat kental dalam CEDAW, seperti yang pernah diungkapkan Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Soebagio, menurutnya meskipun sekilas terkesan positif, namun tujuan CEDAW yang paling utama adalah menyerang nilai-nilai agama khususnya Islam secara lansung dan tidak lansung.(www.muslimahtimes.com, 3/12/2019).
Isu hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan Barat, muncul karena penolakan perempuan Barat terhadap doktrin yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad sebelum revolusi industri. Doktrin ini telah mengekang hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan memiliki akses pendidikan serta hak-hak sipil karena dipandang sebagai masyarakat kelas dua.
Pandangan khas dari Islam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kelas antara laki-laki dan perempuan seperti yang diperjuangkan para feminis. Keduanya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran vital di dalam sebuah keluarga. Kemuliaan tiap dari keduanya, adalah ketaataan dalam melaksanakan setiap perintah Allah SWT dalam menjalankan kewajiban masing-masing. Surat An-Nisa asyat 124 :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
Indikator sukses tidak ditentukan seberapa besar capaian finansial masing-masing, tetapi sebuah keluarga dikatakan sukses jika mampu membawa keluarganya mempersembahkan ketaatan tertinggi pada Rabnya dan berkontribusi mewujudkan sebuah peradaban yang gemilang, yaitu menjalankan fungsi atau kewajiban masing-masing sesuai dengan tuntunan syariah.
Seorang laki-laki memiliki posisi sebagai kepala keluarga yang menjadi pemimpin (qawwam) dan berkewajiban memberi nafkah, sedangkan seorang ibu memilki posisi sebagai istri yang mengatur rumah tangga dan ibu yang merawat dan mendidik anak-anaknya.
Keduanya saling bekerja sama dalam landasan ketaatan, sehingga takwa menjadi prestasi tertinggi yang dicapai seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Maka tidak mengherankan, jika di dalam sistem Islam yang mulia yang pernah diterapkan selama lebih dari 13 abad atau lebih dari 1300 tahun, tampak peradaban yang luar biasa kokoh yang tidak hanya membawa kesejahteraan fisik tetapi membawa pada kemuliaan dan peradaban tinggi.
Banyak pengakuan dari cendekiawan Barat tentang keagungan peradaban Islam, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannnya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister),”. Pernyataan yang lain. “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi dinamonya, Barat bukanlah apa-apa”. (Montgomery Watt).
Mantan orang nomor satu Amerika Serikat juga pernah menyatakan, “Peradaban berutang besar pada Islam”. (Presiden As, Barack Obama).
Kokohnya peradaban Islam tidak lepas dari sosok perempuan salihah yang melakukan peran terbaik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Beliau yang mendampingi dan menguatkan dakwah Rasulullah dari sejak awal Islam diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Ummul Mukminin Khadijah Binti Khuwailid, radiallahu ’anha, yang telah mengorbankan kekayaannya, kebangsawanannya dan kemuliaannya dalam mendukung dakwah.
Dari rahim beliau juga terlahir generasi yang berkualitas yang memiliki ketakwaan yang tinggi. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ummul Mukminin Khadijah, adalah penopang peradaban Islam.
Di era Islam pada tahun 1451 M, Pernah lahir generasi pemimpin hebat penuh kewibawaan, Sulthan Muhammad Al Fatih yang telah menaklukkan Benteng Konstantinopel, di bawah Kekaisaran Adi Daya Romawi yang telah berkuasa selama 11 abad sebelum penaklukan.
Peran ibu yang begitu besar menyiapkan Al Fatih sejak dalam kandungan, agar kelak menjadi pahlawan karena ingin mewujudkan hadist Rasulullah SAW, “Suatu saat Kostantinopel akan takluk di tangan seorang pemimpin (Islam). Di tangannya sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik pasukan”.
Di setiap timangan masa kecil, selalu ditanamkan keyakinan yang kuat bahwa Al Fatih akan mampu menaklukkan Imperium Kekaisaran Byzantium. Setelah penaklukan itu Islam berjaya menguasai dunia.
Fase tumbuh kembang Al Fatih jauh dari kehidupan hura-hura dan hedonis. Beliau dibesarkan oleh ibu dalam bingkai keluarga yang takwa. Muhammad Al Fatih kecil telah menyelesaikan hafalan 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu Falak dan strategi perang.
Di usia 21 tahun, Muhammad Al Fatih sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin dan Yunani. Maka sangat wajar jika Sulthan Muhammada Al Fatih membawa Peradaban Islam memasuki era kegemilangannya.
Perempuan di sistem Islam tidak harus tersibukkan dengan kerja keras untuk membantu perekonomian keluarga karena peran itu dilakoni dengan sungguh-sungguh oleh kaum laki-laki yang berkewajiban memberi nafkah pada keluarga. Dengan pola distribusi yang baik dan pengelolaan kekayaan negara yang benar akan mendukung setiap kepala keluarga memenuhi kebutuhan anggota keluarga, sehingga ibu akan fokus melakukan tugas utama sebagai ummun warabbatul bait, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang memaksimalkan diri dalam proses pendidikan di keluarga.
Dengan demikian para perempuan bisa memberikan andil yang besar untuk mewujudkan peradaban gemilang.
Pun ketika perempuan ingin bekerja di luar, maka aturan Islam memberi kesempatan kepada wanita untuk bermuamalah karena hukumnya mubah selama tidak melanggar hukum–hukum syara dan tidak serta merta meninggalkan kewajiban utamanya.
Setiap ibu yang shalihah akan membangun masyarakat yang shalih ketika dia berpegang teguh pada petunjuk Alquran dan As Sunnah, kondisi masyarakat yang stabil akan mengarah kepada terciptanya sebuah peradaban yang baik.
Sayangnya perjuangan perempuan saat ini, sebagian besar masih berada dalam pusaran feminisme global, akankah terwujud sebuah bangsa berperadaban gemilang? (*)
Penulis: Adira, S.Si (Guru SMA Negeri 1 Parepare)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.