OPINI –Berpegang teguh dalam falsafah orang Bugis adalah jati diri kallolo (pemuda) dalam pembentukan karakter dengan mengemukakan tiga unsur yang harus sejalan yaitu ade’, rapang’, dan wari’. Begitu pula dengan (bicara’) yang memegang teguh siri’ na pacce’ sebagai harga diri orang Bugis yang harus dipertaruhkan dengan nyawa sekali pun.
Sebagai pemuda Bugis, saya mempunyai perinsip tersendiri yaitu ”Pancaji ya melowe mu Pancaji’, gaui ya melowe mupugau, sibawa pakalebbi i maraja ya melowe mupakelebbi” (ciptakan yang kamu ingin ciptakan, buatlah yang kamu ingin perbuat dan hormati dengan kuasa yang ingin kamu hormati) akan tetapi semua tidak sampai di situ saja. Akan tetapi harus dilatar belakangi dengan ada matongeng’ (ucapan yang benar) dan kedo-kedo madeceng (perbuatan baik).
Dengan aksara lontra Bugis sebuah maha karya yang begitu panjang “La Galigo” sebagai pemuda Bugis yang menjadikan kitab pedoman sejarah para leluhur orang Bugis, saya merasa terpatri untuk melestarikan budaya dan tradisi sebagai eksistensi pemuda yang masa lampau, hari ini dan masa yang akan datang dengan berlandaskan “Resopa temangngingi na malomo na letei pammase dewata”.
Jika Bugis jaya dan dipandang baik dengan akhlak dan moralnya (sipakatau, sipakainge dan sipakalebbi) maka perlihatkanlah dengan eksistensi pemuda Bugis saat ini dengan melakukan perbaikan dalam segi sektor apa pun dan menjaga harga diri suku Bugis agar tetap relevan dengan norma-norma UU dan agama. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.