OPINI–Faktor yang menjamin keberhasilan pendidikan suatu negara adalah kebijakan pendidikannya. Meski sebuah negara melimpah SDM kesarjanaannya dan memiliki lembaga sekolah yang menjamur dari ujung ke ujung negeri. Namun, jika kebijakan pendidikannya tidak jelas, bahkan tidak mandiri atau membebek asing, sia-sialah semua potensi yang dimiliki.
Persoalan terbesar yang selalu mencuat dalam setiap diskusi adalah pembiayaan pendidikan di negeri ini. Terutama pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi (PT). Beratnya pembiayaan tak lepas dari adanya otonomi pendidikan pada PT sejak tahun 1994. Hasil dari ratifikasi perjanjian WTO yang menghasilkan perjanjian lain. Salah satunya adalah General Agreement On Trade in Services(GATS). Dengan meratifikasi GATS, maka Indonesia menyepakati untuk mengadakan liberalisasi terhadap 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa pendidikan.
Mahasiswa yang tertimpa beban finansial terus bergulir. Dengan adanya pandemi ini, membengkaknya biaya selain dari UKT diikuti melambungnya kebutuhan kuota. Akan tetapi pendapatan mahasiswa yang masih ditopang orangtua mereka membuat keadaan semakin tak karuan. Pasalnya, dengan pendapatan sukar dicari selama pandemi ini, banyak mahasiswa limbung dengan biaya kuliah yang melambung.
Simalakama, kemungkinan besar juga terjadi pada PT. Baik PTN dan PTS dalam hitungan besar. Reaksi pertama yang dihadapi adalah mahasiswa berdemo. Unjukrasa meluas dari Unnes di Semarang, UHO di Kendari, UIN Bandung, UIN Banten hingga Jakarta. Ratusan hingga ribuan mahasiswa disejumlah wilayah tersebut menuntut hal yang sama untuk meminta keringanan UKT atau bahkan penghapusan UKT pada mahasiswa yang orangtuanya terdampak Covid langsung. Tak hanya itu, puluhan hingga ratusan mahasiswa UNDIP mengundurkan diri tak sanggup memenuhi ketentuan UKT dan tak kuat membebani orangtua mereka. Seberapa lama, berapa banyak mahasiswa yang terbantu dan bagaimana PT mampu membiayai semua keperluannya saat harus menanggung operasional sekaligus mengucurkan bantuan UKT pada mahasiswanya, adalah perkara yang juga harus dievaluasi. Meski wacana Kemendikbud menggelontorkan satu triliun untuk mengatasi tingginya kebutuhan UKT pada pandemi ini, rasanya tak cukup mampu mengatasi drop out bahkan tutupnya PT saat pandemi. Komersialisasi pendidikan justru jadi ‘wabah’ bagi lembaga dan subjek pendidikan.
Ironis, dengan melimpahnya SDM produktif belajar di negeri ini. Mahasiswa di Indonesia hanya mencapai 7,5 juta orang saja. Jumlah ini terbilang masih kecil dibandingkan dengan populasi usia pendidikan di Tanah Air. (Republika.co.id, 12/11/2018).
Tak seharusnya biaya selalu menjadi kendala cita-cita mereka menjadi manusia pengisi peradaban, pemimpin masa depan. Mereka yang seharusnya adalah aset bangsa yang akan diberdayakan di masa depan, ternyata tak semulus adanya. Cita-cita PT yang tentu ingin menghasilkan para lulusan sarjana terbaik pun mengalami limbung. Tentu saja, pilihannya tetap keduanya harus diselamatkan dari keadaan ini. Perlu ada realisasi kebijakan pendidikan yang ideal dan komprehensif. Kebijakan yang mampu menghilangkan berbagai masalah yang akan dihadapi lembaga pendidikan maupun subjek pendidikan, yang tak lain adalah generasi negeri ini. Kebijakan yang tak mungkin diampu selain oleh pengurus rakyat yang tertinggi yakni negara.
Negara berkewajiban menjamin segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Mulai dari urgensi sistem pendidikan, asas pendidikan, kebijakan umum pendidikan seperti kurikulum, strategi pendidikan, tujuan pendidikan, jenjang pendidikan, sarana prasarana hingga fasilitas penunjang pendidikan.
Menjamin segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, membuka kesempatan pendidikan tinggi seluas mungkin dengan fasilitas sebaik mungkin secara cuma-cuma mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyedia pendidikan adalah tanggungjawab negara yang dibiayai dari APBN yang pemasukan, pengelolaan dan pendistribusiannya terkait dengan kebijakan sistem ekonomi negara yang paripurna. Pembiayaan sistem pendidikan ini diambil dari pendapatan negara yang tentunya mampu menutup semua anggaran kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar rakyat salah satunya dalam bidang pendidikan. Hal ini tak kan mungkin tercapai tanpa intervensi penuh negara dan menolak komersialisasi pendidikan dan penerapan ekonomi neoliberal saat ini.
Mewujudkannya butuh kesadaran, melihat sisi krisis pendidikan negeri saat ini dan keinginan yang kuat merubahnya pada kondisi ideal. Tak hanya negeri ini, negara-negara besar dunia bahkan negara yang masih merasa menjadi negara adidaya saat ini, belum mampu mewujudkan sistem pendidikannya dengan sempurna menjadi mercusuar kegemilangan peradaban manusia. Hanya satu negara adidaya lama di masa lalu yang gaung kesohorannya masih terasa dan diakui hingga saat ini. Bidang pendidikan membawanya pada posisi pembawa cahaya gemilang di kegelapan dunia saat itu.
sistem pemerintahan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Dalam sistem pendidikan Islam, ada jenjang pendidikan tinggi yang sistematisnya dilakukan setelah berakhirnya pendidikan sekolah. Dari segi falsafah dan tujuan pendidikannya tentu sangat berbeda dengan sistem pendidikan saat ini yang sekuler dan kapitalistik.
Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk memperdalam dan mengkristalkan kepribadian Islam mahasiswa menjadi pemimpin, menegakkan dan menjaga eksistensi sistem Islam, termasuk mengemban dakwah keseluruh dunia. memperkuat PT sebagai lembaga yang menghasilkan SDM yang mampu menyusun kebijakan strategis sebagai masukan bagi negara, ahli militer, pakar ilmu pengetahuan, peneliti dan ahli di segala bidang ilmu pengetahuan. Termasuk melahirkan para politisi dan mempersiapkan tenaga profesional yang diperlukan untuk melayani urusan masyarakat seperti guru-dosen, perawat-dokter, insinyur-arsitek, dan lain sebagainya.
Dengan target itu, Islam memiliki 2 macam pendidikan tinggi yaitu pendidikan kesarjanaan (setara diploma dan S1), yang lebih banyak menitik beratkan pada rutinitas perkuliahan atau penerimaan berbagai ilmu dan pelajaran, ketimbang penelitian dan penemuan. Kemudian ada pendidikan spesialis (setara S2 dan S3), yang lebih banyak menitik beratkan pada penelitian mendalam dan penemuan hal-hal baru. Optimalisasi realisasinya, negara mewujudkan beberapa lembaga seperti institut teknologi, akademi profesi, universitas, pusat-pusat studi dan penelitian dan pusat riset akademi militer. Juga menyediakan fasilitas penunjang di luar yang dimiliki PT seperti perpustakaan umum dan laboratorium. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Tak hanya itu, negara juga mendorong pendirian perpustakaan pribadi dan toko-toko buku yang memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu seorang cendekiawan.
Sistem ekonomi islam sebagai sumber pembiayaan sistem pendidikan islam. Meliputi dua strategi penting yaitu pertama strategi umum menyangkut sumber-sumber ekonomi negara yaitu pertanian, perindustrian, perdagangan dan tenaga manusia (jasa). Yang kedua strategi umum untuk menjamin kebutuhan dasar seluruh anggota masyarakat baik secara individu maupun kolektif seperti pelayanan pendidikan.
Semua strategi ini dijalankan dengan sangat baik, sehingga pendidikan benar-benar dirasakan semua rakyat.
Baitul Hikmah di Baghdad melahirkan Al-Jazari, Ibnu Al-Haytham, Al-Idrisi, Banu Musa bersaudara, Al-Zahrawi, Abbas Ibnu Firnas, juga Ibnu Sina. Mereka terdidik dengan baik di dalam negara yang dilandasi dengan asas ketakwaan pada Tuhan semesta alam, menerapkan aturan syariat-Nya hingga menghasilkan SDM yang mampu menjamin eksistensi peradaban islam yang mendunia.
Wallahu ‘alam bishshawab