MAKASSAR, PIJARNEWS.COM – Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar Makassar menggelar seminar bertema “Media Mainstream versus Media Sosial” di Golden Tulip Essential Makassar, Selasa (2/2/2021).
Seminar Karya Ilmiah bagi mahasiswa Pascasarjana yang mengambil mata kuliah Karya Ilmiah yang Diseminarkan ini menghadirkan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Selatan, Herwin Bahar dan Suardi Tahir, Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Sulsel sebagai penanggap. Juga Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Unifa Makassar yang juga dosen pengampu mata kuliah, Muhammad Asdar dan Dekan Fakultas Pascasarjana Unifa, Dr. Ismail Marzuki
Salah satu tema yang dibahas adalah fenomena konten jurnalistik yang dijadikan bahan post feed Instagram yang tidak hanya di Kota Makassar, tapi hampir merata di sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.
Abd Azis yang membawakan materi fenomena “free riding” terhadap produk jurnalistik di Instagram ini mengatakan banyaknya tindakan “comot” konten media karena lemahnya perlindungan produk jurnalistik dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
Dia mengatakan dikutip, di-screenshotnya atau direproduksi konten jurnalistik bukan murni lagi untuk menyebarkan informasi kepada followers-nya tapi post feed salah satu konten yang jadikan bahan meningkatkan impresi dan jangkauan akun agar profit datang dari pengiklan atau endorse.
“Jadi ini bukan murni untuk mengabarkan pengikut atau akun yang dijangkauanya tapi juga untuk mencari keuntungan profit. Bisa dilihat di bio akunnya, ada akun dengan terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai akun bisnis, menampilkan nomor WhatsApp untuk keperluan bisnis dan menampilkan akun-akun lain yang bisa jadi satu grup bisnis, ” kata Azis.
Dia mengatakan walau dalam UUHC 28/2014 pasal 43 mengatur perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta tapi tidak serta merta hal itu dengan bebas dilakukan.
Dalam UUHC poin c menyebutkan: “Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau”
Namun untuk kasus free riding produk jurnalistik di Instagram pada poin c itu bertentangan dengan poin d yang berbunyi: “Pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut”
Kenapa bertentangan, kata Azis, sebab akun anonim berbagai info itu menggunakan produk jurnalistik untuk tujuan komersialisasi.
“Walaupun informasi media mainstream dapat dikutip tapi apabila tujuannya untuk memperoleh pendapatan dari iklan/endorse atau komersialisasi dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta,” ujarnya.
Jika misalnya ada pihak membantah bahwa pihaknya mengutip konten media untuk post feed di Instagram bukan tujuan komersil, tapi tidak serta merta bisa dilakukan. Sebab itu merugikan Hak Cipta atau Hak Ekonomi dari media bersangkutan.
“Walaupun tindakan mengutip kreasi hak cipta dibantah bahwa bukan untuk mencari keuntungan, tetapi tindakan itu merugikan kepentingan ekonomi dari pencipta dalam hal ini media. Hal itu juga dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. “Inilah fenomena yang kami lihat, ” kata dia lagi.
Kemudian ada ungkapan yang menyebutkan: “Sebuah karya telah berakhir dan dianggap milik publik (public domain) setelah diterbitkan karena itu siapapun dapat menggunakannya secara gratis tanpa perlu izin penciptanya. Tapi, kata Azis, itu bertentangan dengan UUHC.
“Hal ini bertentangan dengan masa berlaku hak ekonomi pencipta Pasal 58 bahwa Hak Cipta atas Ciptaan berupa buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya; Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya,” ungkapnya.
Di Indonesia, lanjut dia, Hak Cipta dapat diperoleh bukan karena pendaftaran dan bukan merupakan keharusan karena tanpa didaftarkan Hak Cipta telah ada, diakui, dan dilindungi.
Kenapa hal ini terus terjadi? karena tidak ada media atau pihak yang melaporkan, kata Azis. Selain itu media sepertinya kurang memperhatikan Hak Cipta dari produknya sendiri atau memang sengaja melakukan hal itu untuk tujuan tertentu.
“Tujuan dari materi seminar ini sebenarnya ingin mengingatkan bahwa produk jurnalistik itu dilindungi Undang-Undang. Bukannya ingin membatasi para konten kreator di Instagram,” ujarnua.
Azis juga mengatakan akan mendorong qpermasalah ini kepada asosiasi wartawan dan media untuk mengingatkan bahwa konten jurnalitik dilindungi oleh UUHC.
Menanggapi materi tersebut, Ketua AMSI Sulsel Herwin Bahar mengatakan, sejauh ini belum ada media yang komplain terhadap kontennya dikutip oleh pengelolah akun instagram anonim.
“Kenapa? karena merasa adanya konten yang dicomot itu pembaca yang dulunya hanya melihat konten yang dikutip akan singgah ke media tersebut,” ujarnya.
Herwin mengatakan tindakan comot berita juga membantu dalam meningkatkan traffic pembaca.”Banyak media merasa bahwa tidak masalah kalau dicomot,” katanya.
Hanya saja rata-rata media sosial dengan nama anomin itu sulit diidentifikasi karena mereka tidak menampilkan alamat beroperasi.
Karena itu pula, Herwin meminta kepada pemerintah untuk kembali melakukan sosialisasi Undang-Undang Hak Cipta 28/2014 khususnya kepada pengelolah media karena ini penting agar Hak Cipta dan Hak Ekonominya tidak dirugikan oleh pihak lain. “UUHC perlu disosialisasikan lebih baik lagi,” harapnya.
Sementara, Suardi Tahir, menanggapi fenomena ini mengatakan, dirinya menyerahkan kepada pembaca atau followers mau mengikuti akun pemilik produk jurnalistik yang asli atau bukan.
“Kita serahkan kepada pembaca untuk memilih. Apakah mau mengikuti pemilik asli konten jurnalistik atau bukan” ujarnya.
Selain mengupas soal Hak Cipta karya jurnalistik, seminar yang merupakan kelompok 5 ini juga membahas materi fenemona media mainstream versus media yang dibawakan oleh Novika Ayu Triany, kemudian Hasanuddin dengan materi Fungsi dan Peran Media.
Lalu Muhammad Rizal Alfaruqhi dengan judul materi Pengaruh Media terhadap publik, Fadli Ilham dengan materi Kepentingan Ekonomi Politik Media dan Irwan Sakkir dengan judul materi Strategi Bisnis Media Sosial.