MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Aktivitas Reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) dinilai memberikan dampak buruk terhadap kehidupan nelayan Kota Makassar. Dampak tersebut di antaranya, pendangkalan sungai sebagai akses nelayan, bau busuk, pendapatan nelayan berkurang dan hilangnya ekosistem laut.
Bahkan reklamasi CPI tersebut sudah mengusur 43 KK nelayan. Sehingga proyek reklamasi CPI dinilai merupakan proyek yang merusak lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).
Aspirasi ini disampaikan oleh Aliansi Selamatkan Pesisir bersama Nelayan Mariso yang menggelar aksi yang menuntut hak atas laut. Aksi digelar di depan Kantor CLI Makassar, Kamis siang, 19 September.
Dalam pernyataan sikap yang dirilis tadi menyebutkan bahwa empat (4) tahun pembangunan reklamasi berlangsung, pada bulan Mei 2019 pihak Ciputra menyatakan proyek reklamasi telah selesai. Namun, proyek yang sejak awal ditolak ini meninggalkan dan menimbulkan banyak masalah.
Ciputra tidak pernah bertanggungjawab atas wilayah tangkap dan peralatan tangkap nelayan yang ditimbun, apalagi hak tempat tinggal milik 43 KK yang digusur secara paksa.
Reklamasi CPI juga mengganggu akses nelayan tradisional dari Kelurahan Tamarunang, Panambungan, dan Bontorannu, Kecamatan Mariso karena pendangkalan yang terjadi di jalur yang mereka lewati di sekitar lokasi CPI.
Pendangkalan dan gangguan akses nelayan ini telah diprediksi sejak awal. Bahkan tertuang dalam dokumen Adendum AMDAL proyek reklamasi CPI. Sayangnya, pengerukan secara periodik guna menjamin akses nelayan tidak cukup untuk menghilangkan ganguan akses yang dialami dan dirasakan langsung oleh nelayan.
Buktinya, sepanjang reklamasi ini dilakukan dan hingga empat (4) bulan setelah dinyatakan selesai, gangguan akses tersebut masih dialami oleh nelayan Kecamatan Mariso.
Salah satu titik paling dangkal dan sempit yang harus dilewati oleh nelayan dari Kecamatan Mariso berada di jembatan CPI. Bukannya memberikan jaminan atas akses nelayan, pihak Ciputra justru ingin membuat jembatan baru. Nelayan menganggap bahwa jembatan baru ini justru akan memperburuk keadaan. Hal lain yang diabaikan oleh Ciputra adalah membuat terusan kanal jongaya. Solusi alternatif terkait jaminan akses nelayan ini juga dituangkan dalam Adendum AMDAL, namun belum dilaksakan sampai saat ini.
Reklamasi CPI dengan seluruh permasalahan yang ditimbulkannya di atas, secara nyata melanggar hak nelayan. Situasi tersebut bahkan diperburuk dengan munculnya larangan menangkap ikan di sekitar lokasi CPI. Padahal sebelum CPI dibangun, wilayah tersebut merupakan ruang tangkap nelayan sehingga sejak reklamasi berjalan dan selesai menyebabkan terjadinya penurunan hasil tangkap nelayan secara drastis.
Berangkat dari situasi faktual tersebut di atas, kami menuntut dengan tegas kepada pihak Ciputra Untuk:
1. Tidak melakukan pembangunan jembatan baru
2. Melakukan pemulihan akses nelayan Kelurahan Tamarunang, Panambungan, dan Bontorannu yang terganggu karena adanya pendangkalan di sekitar lokasi reklamasi CPI.
3. Menghentikan larangan menangkan ikan di sekitar lokasi reklamasi CPI.
4. Menuntut pemulihan hak atas alat dan ruang tangkap nelayan yang ikut tertimbun menjadi lahan reklamasi CPI. (rls/dmh)