MAKASSAR, PIJARNEWS.COM – Dinas Perhubungan Sulawesi Selatan (Sulsel) mengeluarkan keputusan larangan beroperasi taksi online menyusul desakan dan aksi penolakan di Makassar.
Larangan yang dikeluarkan sejak Kamis, 7 April 2017 tersebut berlaku hingga diterbitkannya keputusan mengikat dari pemerintah. Namun kebijikan tersebut sangat disayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk pihak yang memiliki kebutuhan khusus alias difabel di Makassar.
Salah satu difabel netra di Makassar, Nur Syarif Ramadhan sangat menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. Sebab transportasi online sangat memudahkan dirinya dan teman-temannya yang juga difabel untuk melakukan aktivitas.
“Sejak mereka beroperasi kami tidak kesulitan lagi kalau mau kemana-mana, cukup melakukan pemesanan, maka mereka akan datang ke rumah kami, dan mengantar sampai ke tujuan.” kata Syarif, Jumat 7/4.
Berbeda dengan transportasi konvensional yang cenderung para sopirnya mendiskriminasi para difabel. Menurut Syarif, beberapa perlakuan diskriminasi kerap dialaminya saat hendak bepergian menggunakan transportasi konvensional. Seperti, para sopir angkutan umum Petepete. Difabel, kata dia, ditolak sangat oleh sopir Petepete dan dianggap sebagai sumber penghalang rejeki si sopir.
“Biasanya, kalau pagi-pagi kami mau bepergian, dan kami menunjukkan identitas kami sebagai difabel, sopir transportasi konvensional enggan mengambil kami. mereka berpendapat, jika ada orang buta yang naik ke kendaraan mereka, maka rejeki mereka hari itu akan gelap. begitu pun kalau ada orang pincang yang naik, maka pendapatan mereka tidak akan lancar.” ujar Syarif yang juga pengurus Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK).
Dia pun mempertanyakan dalih sejumlah sopir angkutan konvensional yang mengatakan taksi online meresahkan. “Transportasi online lebih aman dan nyaman bagi kami. jadi apanya yang meresahkan rakyat?” tanyanya.
“Sejak beroperasinya transportasi online, kami tidak perlu lagi ke jalan raya menunggu kendaraan jika kami ingin bepergian, kami tak takut lagi mendapatkan perlakuan diskriminatif, karena pada transportasi online, si penyedia jasa memberikan ruang kepada kami apabila ingin melaporkan jika menemukan hal yang kurang berkenan. lagi-lagi hal itu tak kami temukan pada transportasi konfensional.” tambahnya.
Sependapat dengan hal tersebut, Abd Rahman yang saat ini sebagai Direktur PerDIK mengatakan sopir transportasi konvensional seperti taksi juga kerap tidak jujur dalam pembayaran.
Rahman yang mengalami netra ini mengaku beberapa kali dikibuli oleh sopir taksi. “Kita kan tidak bisa melihat argo sopir. Tapi mereka totalkan harga yang menurut saya tidak benar. Karena saya bukan satu dua kali naik taksi konvensional ke tempat itu. ” jelasnya. (*)