PIJARNEWS.COM — “Anak-anak Pak Aqua kan masih kecil-kecil, kalau Bapak keluar dari Semen Cibinong, mereka mau diberi makan apa? Bagaimana dengan kesinambungan pendidikannya? Kasihan mereka,” ungkap banyak teman senada menunjukkan sikap empati.
Sementara teman-teman yang lain mengatakan, “Kalau Pak Aqua tidak kerja di Semen Cibinong lagi, ngga akan dihargai orang. Untuk itu sebaiknya tetaplah jadi karyawan di perusahaan ini.”
Pernyataan itu muncul sekitar 13 tahun lalu menjelang saya berhenti dari Semen Cibinong, sekarang jadi Holcim Indonesia, 30 September 2005 saya resmi mengundurkan diri dari perusahaan yang sudah memberi kesejahteraan ke saya selama 10 tahun 9 bulan, sejak 1 Januari 1995.
Keputusan berhenti sebagai karyawan muncul dari diri sendiri. Niat itu klop sekali dengan program pensiun dini yg ditawarkan manajemem Semen Cibinong setelah beralih ke Holderbank yang bermarkas di Swiss.
Saat saya mengundurkan diri dari Semen Cibinong, kedua anak saya masih kecil. Si sulung Alira Vania Putri Dwipayana (Ara) kelas 3 SD dan si bungsu Savero Karamiveta Dwipayana (Ero) TK nol besar.
Dengan bahasa mereka, saya minta ijin untuk berhenti kerja di Semen Cibinong. Ara waktu itu mengijinkan dengan syarat saya kelak bisa membiayai kuliahnya meski tidak lagi jadi karyawan. Ero yang masih polos malah mendorong saya agar segera mandiri dengan harapan setiap hari bisa antar jemput dia ke sekolahnya.
Menghargai Diri Sendiri dan Orang Lain
Alasan utama saya berhenti dari Semen Cibinong karena prihatin melihat dari waktu ke waktu semakin banyak orang yang menganggur di Indonesia. Itu saya saksikan dan rasakan langsung saat tugas ke berbagai daerah di Indonesia. Padahal melihat Indonesia yang kaya raya dengan hasil alamnya, tidak ada alasan orang menganggur.
Saya terpanggil untuk memotivasi mereka. Atas ijin TUHAN, saya yakin bisa melakukan itu lillahi ta’ala. Saya percaya jika memikirkan orang banyak dan totalitas membantu mereka dengan ikhlas, maka TUHAN akan membalasnya berlipat ganda buat saya sekeluarga.
Mengenai kekhawatiran banyak teman ngga dihargai setelah tidak bekerja di Semen Cibinong, saya sama sekali tidak mengkhawatirkannya. Saya yakin banget bahwa seseorang dihargai banyak orang bukan karena status dan jabatannya atau faktor duniawi lainnya.
Seseorang akan dihargai orang lain karena dua hal. Pertama, bagaimana dia menghargai dirinya. Kedua, bagaimana penghargaannya ke setiap orang.
Burung saja Bisa Cari Makan Sendiri
Ketika teman-teman menyampaikan tentang itu yang dikaitkan dengan kehidupan setelah tidak jadi karyawan, saya jadi teringat kejadian pada 16 Desember 1990 lalu. Sekitar pukul 19.30 malam itu saya menemui Bos Harian Jawa Pos, Dahlan Iskan di kantor pusatnya Karah Agung Surabaya.
Saya yang sorenya baru tiba di Bandara Juanda, Surabaya dari Batu, Malang – naik helikopter bersama Menristek BJ Habibie – menyampaikan ke Dahlan bahwa mulai 1 Januari 1991 mengundurkan diri sebagai wartawan Jawa Pos. Semua alasannya saya sampaikan.
Saat saya bicara di kursi panjang sama Dahlan, ternyata ada beberapa redaktur Jawa Pos yang mendengarkannya. Mereka sambil mengedit berita diam-diam menyimak pembicaraan kami.
Selesai kami bicara, salah seorang redaktur yang mendengarkan percakapan kami memanggil saya. “Aqua, kenapa Anda berani bicara seperti itu sama Pak Bos? Setelah berhenti dari Jawa Pos apakah Anda tidak khawatir dengan masa depan Anda termasuk membiayai hidup dan kuliah Anda?”
Pak bos yang dimaksud adalah Dahlan. Kami di Jawa Pos biasa memanggilnya seperti itu. Setelah menyampaikan terima kasih ke redaktur yang kini sudah meninggal tersebut, dengan tegas saya sampaikan sama sekali ngga takut. Juga tidak khawatir dengan kehidupan saya setelah berhenti dari Jawa Pos.
“TUHAN pasti menjamin kehidupan setiap umatnya. Terpenting mereka mau berusaha secara optimal dan ikhlas. Burung yang tidak punya otak saja bisa mencari makan sendiri dan jarang kelaparan. Apalagi manusia yang merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di muka bumi ini. Insya ALLAH setelah tidak di Jawa Pos kehidupan saya makin baik dan sukses,” tegas saya ke redaktur itu dengan penuh optimisme.
Sambil mengucapkan itu saya berdoa ke TUHAN agar mengabulkan semua doa saya. Itu sekaligus untuk membuktikan ucapan saya ke redaktur tersebut.
13 Tahun Mandiri, Mensyukuri dan Introspeksi Diri
Alhamdulillah sekitar 28 tahun kemudian atau 13 tahun sesudah berhenti total jadi karyawan, kondisi saya dari berbagai aspek kehidupan jauh lebih baik dibandingkan saat masih bekerja sebagai pegawai. Saya sangat mensyukuri itu.
Ara dan Ero kini sudah dewasa. Mereka sedang berjuang untuk masa depannya dengan menekuni kuliah masing2 sesuai dengan pilihannya.
Ara mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Korea Selatan di Jurusan dan Fakultas Bisnis Korea University Seoul. Sedangkan Ero kuliahnya di Jurusan dan Fakultas Ilmu Komunikasi, Univertas Padjadjaran Bandung.
Atasan saya satu-satunya sejak 13 tahun lalu sampai sekarang dan insya ALLAH hingga meninggal hanya TUHAN. Juga menikmati kebebasan dan kemerdekaan secara utuh.
Saya menjadi diri sendiri karena pertanggungjawabannya langsung ke TUHAN. Alhamdulillah Sang Pencipta selalu mencukupi semua kebutuhan saya termasuk menyalurkan hobi silaturahim.
Minggu, 30 September 2018 kemarin genap 13 tahun saya mandiri. Sepanjang hari saat di Bali selain mensyukuri semuanya, juga instrospeksi diri.
Kesimpulan saya, seenak-enaknya bekerja sebagai karyawan dengan berbagai fasilitas dan kesejahteraan, ternyata jauh lebih enak mandiri. Penyebabnya bukan karena materi yang diperoleh, karena itu sudah dicatat saat roh ditiupkan ke diri seseorang ketika masih dalam kandungan Ibu.
Hal yang utama adalah atasan satu-satunya hanya TUHAN. Selain itu merasakan kebebasan dan kemerdekaan dengan menjadi diri-sendiri.
Anda tidak percaya dengan yang saya katakan? Silakan buktikan sendiri dan rasakan kenikmatannya. Asal memiliki keyakinan yang kuat, insya ALLAH dapat mewujudkannya. Aamiin ya robbal aalamiin. (*)
*Penulis adalah Penulis Buku, Motivator dan Konsultan Komunikasi