PAREPARE, PIJARNEWS.COM –Bagi sebagian pegawai rumah sakit Andi Makkasau Kota Parepare, pria ini mungkin cukup familiar. Profesinya sebagai penjual bakso menjadikan Abdul Jabbar dikenal di lingkungan rumah sakit plat merah itu.
Soalnya, saban hari sejak pukul 10.00 pagi, Jabbar sudah banyak mendapat telepon pesanan bakso dari sebagian pegawai rumah sakit. Baik itu perawat maupun staf rumah sakit. Tak sedikit keluarga pasien juga ikut membeli bakso.
Setidaknya, dalam sehari, Jabbar dua kali berjualan bakso di sekitar areal rumah sakit. Yakni di bagian Samping Rumah Sakit dekat Kamar Jenazah dan di Depan Ruang Cardiac Centre atau dekat Ruang Hemodialisa.
Cara pemasarannya, Jabbar kerap memukul-mukul mangkuknya dengan sendok. Jika sudah ada bunyi seperti itu, sebagian karyawan memanggil atau langsung menelepon Jabbar untuk memesan bakso.
“Dalam sehari, omzet penjualan bisa mencapai satu hingga dua juta per hari. Selain berjualan pakai motor, istri saya juga membuka warung bakso di depan rumah sakit Andi Makkasau,” ujar Jabbar.
Cita-cita Jabbar sebenarnya bukan penjual bakso. Sejak lulus SMA tahun 2000-an di Takalar, ia mendaftar menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Makassar. Namun dua kali mendaftar, Jabbar tak pernah lulus. Padahal menurutnya, ia sudah sekuat tenaga belajar dan mengikuti seleksi dengan baik.
Meski cita-citanya kandas menjadi tentara, namun Jabbar tidak putus asa dan hanya tinggal berpangku tangan. Apalagi stres akibat ketidaklulusannya. Ayah tiga anak asal Desa Borong Mamase, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar ini kemudian hijrah ke Kota Parepare pada tahun 2000-an.
Di Kota Parepare, Jabbar ikut bersama rekannya yang saat itu ayahnya menjual bakso. Jabbar kemudian tinggal sementara di rumah rekannya dan belajar membuat pentolan bakso. Berselang beberapa tahun, Jabbar mulai mandiri dan berani berjualan bakso sendiri. Saat itu, Jabbar masih menggunakan gerobak saat berjualan bakso.
Setelah terkumpul dana hasil penjualan baksonya, Jabbar kemudian mempersunting Jumriati, warga asal Galesong Utara, Takalar. Kini, ia dikarunia tiga anak dan bermukim di Wekke’e, Parepare. Anak sulungnya baru berusia 11 tahun.
Dari hasil penjualan baksonya, Jabbar mengaku setiap bulan menabung dan menyisihkan hasil usahanya. Caranya membeli lahan sawah dan membangun rumah di Kampungnya di Takalar. “Syukur Alhamdulillah, ada sedikit sawah di kampung. Saya juga baru saja menyelesaikan pembangunan rumah di sana. Kini, sisa cicilan mobil. Semoga bulan Desember sudah bisa saya lunasi,” ungkap Jabbar sambil tersenyum.
Bagaimana trik Jabbar dalam memasarkan produk baksonya sehingga bisa laris? Jabbar mengaku senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan lama dan pelanggan baru. Produk bakso, mi, ubi goreng, ketupat dan kacang gorenya juga selalu dijaga kualitasnya. “Harganya juga terjangkau,” kata Jabbar.
Harga bakso ala Jabbar dijual bervariasi antara Rp7.000 hingga Rp10.000 per porsi. “Tergantung selera pelanggan. Ada yang mau lengkap pakai mi dan pentolan bakso campur ubi goreng, harganya Rp10.000,” tandas Jabbar.
Salah seorang pelanggan, Rahma mengaku senang memesan bakso yang dijual Jabbar. “Kualitas bakso dan mi-nya bagus. Penjualnya juga komunikatif dan biasa bercanda,” kata Rahma.
Pelanggan lainnya, Mulyadi juga mengaku sering memesan bakso di gerobak motor Jabbar. “Rasanya memang beda dengan bakso lainnya. Harganya juga murah,” ujar Mulyadi. (*)
Penulis : Alfiansyah Anwar
Editor: Dian Muhtadiah Hamna