OPINI, PIJARNEWS.COM — Kurikulum pendidikan perguruan tinggi lebih fokus pada domain kognitif, sehingga menghasilkan banyak sarjana pengangguran.
Perguruan tinggi idealnya mencetak sarjana yang memiliki kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Namun, banyak perguruan tinggi mencetak sarjana pengangguran, menjadi sampah masyarakat, sarjana yang merusak lembaga tempat kerjanya, sarjana yang merasa paling pintar, benar dan tidak menerima pendapat orang lain, sarjana yang tidak memiliki sensitivitas sosial, mereka hanya berdiam diri di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Pada tahun 2018 Kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi mencatat sekitar 8.8% atau 630.000 dari total 7 juta pengangguran di indonesia adalah sarjana.
Banyak sarjana yang pintar secara intelektual, namun tidak pintar secara emosional, apalagi spiritual. Kita dapat melihat begitu banyak sarjana yang hanya memburu jabatan, kekuasaan dan meninggalkan tanggung jawab sosialnya dan agamanya.
Banyak faktor yang menyebabkan kurang berkualitasnya lulusan perguruan tinggi diantaranya adalah faktor mahasiswa yang memiliki IPK tinggi belum tentu cepat mendapatkan pekerjaan, karena IPK tidak menjamin kualitas sarjana, coba kita lihat korelasi antara pendaftar PNS yang memiliki IPK tinggi dengan jumlah sarjana yang lulus ujian PNS.
Boleh jadi banyak sarjana yang memiliki IPK tinggi tapi tidak lulus, sementara ada sarjana yang memiliki IPK rendah tapi lulus PNS. Sebab soal ujian berbeda dengan apa yang dipelajari pada perguruan tinggi.
Faktor isu pendidikan hanya dipandang secara makro terkait pembangunan infrastruktur gaji pendidik. Isu pendidikan kurang fokus pada isu perbaikan kurikulum.Faktor kurangnya minat mahasiswa terhadap program studinya, banyak mahasiswa yang memilih program studinya karena terpaksa, memilih program studi karena pilihan terakhir daripada menganggur, memilih program studi karena SPPnya murah, memilih program studi karena dipaksa oleh orang tua.
Pemilihan perguruan tinggi, program studi tidak berdasarkan minat atau kompetensi, akan tetapi pendaftar memilih program studi karena faktor gengsi, kampus elit, kampus yang lagi trend saat ini.
Faktor kurikulum yang lebih banyak pada peningkatan knowledge saja, dapat dilihat dari soal-soal ujian yang diberikan kepada mahasiswa hanya bersifat kognitif belum pada afektif dan psikomotorik, misalnya pemakaian kata jelaskan, uraikan. Soal ujian belum mengarah pada aspek afektif dan psikomotorik misalnya buatlah proyek terkait dengan mata kuliah.