OPINI — Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali memberikan lampu hijau bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ia menyebut Indonesia butuh investasi hingga Rp5.823 triliun. Dengan investasi asing atau bentuk penanaman modal asing (PMA) yang dibutuhkan sebesar Rp528,6 triliun. Menurutnya, nilai investasi itu cukup untuk membuat perekonomian tumbuh hingga 5,6 persen
Untuk mencapai itu, Sri Mulyani bakal mengerahkan segala upaya agar investasi mengalir deras di tanah air. Menkeu menyatakan policy yang berhubungan dengan investasi jadi kunci, apakah perbaikan infrastruktur, perbaikan tenaga kerja, maupun policy simplifikasi atau regulasi yang kondusif bagi investasi. (Suara.com, 13/6/2019).
Pemerintah daerah pun diminta berupaya lebih keras untuk meningkatkan daya tarik investasi. Propinsi Sulawesi Selatan misalnya, melalui slogan Sulsel ramah investasi telah menjaring banyak investor. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Sulsel mencatat investasi sepanjang triwulan II 2019 mencapai Rp1,6 triliun.
Ada beberapa sektor mencatat investasi besar, di antaranya sektor pertambangan, industri mineral non logam, sektor listrik, gas dan air, serta sektor industri makanan. Dengan investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp601,1 miliar dan Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp1 triliun.
Saat ini, Sulsel baru saja menjajaki beberapa proyek kerjasama dengan sejumlah investor. Yang terbaru di sektor industri logam, yakni Kawasan Berikat Nusantara (KBN). KBN diketahui menggelontorkan anggaran sebesar Rp40 triliun untuk membangun mega proyek di Kabupaten Takalar. Tak berdiri sendiri, KBN berencana akan menggandeng investor asal China yaitu PT China Metal Recycling Association (CMRA). (Fajar.co.id, 31/7/2019).
Bahkan di awal Januari 2019, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengungkapkan bahwa Pemprov telah membuka peluang kepada China untuk terlibat dalam pembangunan proyek prioritas. Yaitu proyek pembangunan tol lintas kabupaten dan kereta rel listrik (KRL). Selain dua proyek infrastruktur itu, Nurdin juga menawarkan beberapa pulau untuk digarap sebagai destinasi wisata. Apalagi, menurut dia, Sulsel memiliki pulau-pulau yang berpotensi untuk mendongkrak kunjungan pariwisata daerah. (Bisnis.com, 6/1/2019).
Tapi kemudian ada hal-hal yang luput dari pertimbangan bahkan diabaikan ketika menawarkan proyek atau potensi daerah untuk digarap investor. Ketika asing diberikan hak mengelola sektor publik seperti listrik, air bersih, jalan tol, migas, dan telekomunikasi, maka sadar atau tidak, kebutuhan vital kita akan tergantung kepada mereka. Kedaulatan negara dipertaruhkan. Tanpa sadar, kita masuk dalam jebakan neo imperialisme atau penjajahan gaya baru.
Mengokohkan Liberalisasi
Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalisme yang identik dengan liberalisasi kepemilikan atau privatisasi terhadap sektor publik. Konsekuensinya, negara kita sulit melindungi potensi kekayaan alam dari keserakahan korporasi, terutama korporasi asing dengan perusahaan multinasional mereka. Dengan kekuatan dana besar, perusahaan asing mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah sehingga lahirlah UU yang pro asing, seperti UU Migas, Penanaman Modal, Kelistrikan, dan lain-lain yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor vital di Indonesia.
Untuk investasi sendiri telah diatur dalam UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang kemudian direvisi melalui UU No.11/1970 PMA dan UU No.12/1970 PMDN. Setiap daerah kemudian mengaplikasikan undang-undang ini untuk menarik investor dan menggenjot pembangunan infrastruktur.
Investasi asing juga masuk dengan mekanisme pinjaman berbunga, serta disertai dengan berbagai syarat yang tentu melemahkan posisi negara pengutang dan memberikan keuntungan berlipat ganda pada negara pemberi utang. Maka semakin sulitlah Indonesia keluar dari jebakan utang ini. Anggaran negara terpakai bayar cicilan. Kemaslahatan masyarakat urusan belakangan.
Salamuddin Daeng, Peneliti Indonesia for Global Justice mengemukakan pandangannya bahwa kita bernegara, kita berkonstitusi hanya menyediakan suatu ruang, bahkan dalam bentuk yang paling asli, kita menyediakan tanah, gedung, jalan, infrastruktur, dan segala macamnya yang ada di negeri ini, semata-mata untuk memfasilitasi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan negara kita.
Pada saat kekayaan negeri ini sudah dikuasai penanaman modal asing, maka ekonomi kita secara keseluruhan dari hulu sampai hilirnya adalah ekonomi bangsa lain. Ekonomi yang kita hitung tiada lain adalah ekonomi bangsa lain. Sehingga perhitungan PDB kita sejatinya hanya menghitung dari produksinya orang-orang asing yang beroperasi di Indonesia, tidak mencerminkan produksi bangsa sendiri.
Selain itu, masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke tanah air dengan membawa gaya hidup mereka yang notabene bertentangan dengan Islam, agama mayoritas penduduk negeri ini, akan membawa dampak buruk bagi tatanan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap bahaya yang potensial dibawa oleh asing harus melekat.
Pandangan Islam
Sekilas, investasi asing membawa angin segar bagi kemajuan perekonomian bangsa kita, baik skala nasional maupun daerah. Tapi ada bahaya besar dan jangka panjang yang turut dibawa. Meski ada keuntungan secara materi, kerjasama dengan asing tidak boleh dilakukan bila berpotensi mengurangi kedaulatan, mengganggu keamanan dan ketertiban serta menjadi pintu menyebarluasnya kemaksiatan. Kerjasama yang merugikan kaum muslimin harus dihentikan. Sebab, kaum muslim diharamkan memberikan jalan kepada orang kafir untuk bisa mendominasi dan menguasai kaum mukmin.
Allah SWT berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. an-Nisa’ : 141).
Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan negara asing dan korporasi raksasa kecuali dengan kembali menerapkan Islam secara menyeluruh. Sistem ekonomi Islam akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.
Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya kepada negara lain. Wallahu a’lam bisshowab. (*)
Penulis : Tolawati berdomisili di Makassar, email : u.athiyah80@gmail.com
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.