ESAI, Suatu organisasi tentu perlu meningkatkan kualitas kaderisasi internalnya secara terukur dan terencana, sebagai penanda keberlangsungannya di masa depan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang merupakan organisasi mahasiswa Islam dengan fungsinya sebagai organisasi perkaderan dan berperan sebagai organisasi perjuangan secara sadar dituntut terus untuk melaksanakan perkaderan, guna membentuk kader-kader umat dan bangsa sebagai harapan yang mampu memberikan darma baktinya untuk pembangunan nasional. Hal tersebut terjabarkan dalam pasal 8 AD HMI (HMI, berfunsi sebagai organisasi kader, dari fungsi tersebut mengindikasikan bahwa jantung organisasi adalah perkaderan sebagaimana yang telah dijabarkan diawal bahwa masa depan HMI berada di tangan kader-kadernya untuk kelangsungan organisasi.
Output perkaderan yang berkualitas dihasilkan dari proses kaderisasi yang berkualitas pula dan nantinya menjadikan mereka sebagai duta-duta sosial para pencerah di tengah-tengah kemerosotan kepekaan sosial dan pengaruh luar yang membiaskan identitasnya sebagai harapan umat dan harapan bangsa.
Kader adalah ”sekelompok orang yang mengorganisir dirinya secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar dikemudian hari” dengan demikian ciri sosok kader terwujud dalam empat hal: pertama, seorang kader tergerak dan terbentuk dalam organisasi, memahami dan mengamalkan aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain-main sesuai dengan kehendak dan selera pribadi. Kedua, sosok kader mengamalkan komitmen yang terus-menerus melekat dalam dirinya, tidak mengenal semangat musiman, melainkan utuh dan istiqomah (konsisten) dalam perjuangannya untuk ber-Amar ma’ruf nahi munkar dan mengamalkan kebenaran. Ketiga, sosok kader mempunyai bobot atau nila jual yang tinggi dan kualitas yang cukup sebagai tulang punggung atau kerangka yang dipersiapkan sebagai benteng dan penyangga kesatuan kelompok manusia yang lebih besar, sehinnga fokus penekanan kaderisasi adalah kualitas. Keempat, sosok kader memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon persoalan kesenjangan sosial, lingkungan dan engineering.
HMI sebagai organisasi kader (pasal 8 AD HMI) akan aktual dan akan dipertanggung jawabkan oleh para pendidik/guru/instruktur yang mutlak adanya. Ketika HMI diikrarkan dan didakwakan bahwa HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan maka tentu saja dalam setiap proses aktivitas dan kegiatannya secara aktual harus memperhatikan perkadernnya atau pendidikannya secara transformatif berbasis keteladanan. Maka sebagai pengemban amanah besar dan suci ini ada di pundak para istruktur untuk mengamalkan dan mempertanggung jawabkan tugas ini, karena melalui para instrukturlah status HMI sebagai ”kawah candradimuka” menurut Solichin dipertaruhkan, dan melalui merekalah pembinaan para anggota dengan menjunjung tinggi asas keumatan dan kebangsaan itu dititipkan.
Dengan dalih inilah sehingga penulis dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab menyusun tulisan ini sebagai bahan pengajaran bagi diri pribadi dan orang lain yang berminat membacanya.
PEMBAHASAN
“Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia” (ir.Soekarno). adalah mantra peninggalan Soekarno kepada generasinya yang akan menjadi spririt bagi pemuda, mahasiswa dalam kepelikan Indonesia di masa yang akan datang, berbeda dari kebanyakan mantra-mantra suci pamungkas Soekarno ini juga adalah harta yang sangat mahal harganya jika dijual apalagi jika ia digadaikan dengan investasi asing yang telah menodai keluhuran bangsa ini.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dalam catatan sejarahnya telah menyerahkan dirinya sebagai bagian dalam mantra tersebut. Melalui peranannya mengusir kolonial di tanah yang luhur ini, serta hadir sebagai pencerah bagi umat yang ternodai oleh budaya peninggalan penjajah itu (Wasternisasi), sebagai organisasi perkaderan sudah menjadi kemutlakan HMI untuk memproduk kader-kader pejuang yang berkualitas Insan Ulil Albab yang tercerahkan dan memiliki daya guna sebagai Nabi-Nabi sosial demi kemajuan.
Maka melalui perkaderan itulah akan lahir tokoh-tokoh pejuang, pemikir, pemimpin, cendekiawan dan pencerah lainnya. Hal ini telah dibuktikan HMI dengan hadirnya tokoh-tokoh besar Indonesia seperti Ayahanda Prof. Dr. Lafran Pane, kakanda Prof. Dr. Nurchalis Madjid, Kakanda Ahmad Wahib dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya,
Sehingga besar harapan dalam perjalanan panjangnya HMI memasok sumber daya manusia dengan daya beli yang tinggi sebagai benteng dan tulang punggung pembangunan nasional.
Sejatinya kader berkualitas itu dapat dinilai dari kualitas perkaderannya yang terukur dan memiliki perencanaan yang matang. Ayahanda Lafran Pane mengatakan “yang membedakan HMI dengan organisasi yang lain adalah perkaderannya” perkataan Lafran Pane itulah yang selama ini kita amini selaku pengurus dan anggota biasa di HMI dengan membusungkan dada sebagai bagian dari HMI. Pola kaderisasi HMI yang erat kaitan dengan disiplin, tertib dan survive dengan dinamika yang ada di HMI hal itulah yang membentuk anggota dan kader HMI memiliki nilai jual dengan kualitasnya yang tinggi tidak salah jika almarhum panglima besar TNI Jendral Sudirman sempat memuji HMI dengan mengatakan “HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Harapan Masyarakat Indonesia” ini mengindikasikan bahwa HMI sempat memberikan pengaruhnya terhadap perubahan Masyarakat Indonesia.
Bukan hanya itu gagasan perkaderan HMI dengan output keumatan dan kebangsaan melalui training-training dan pendidikannya memberikan pengaruh yang cukup besar atas kebangkitan wacana ke-Islaman dan ke-Indonesian seperti halnya Cak Nur dengan pandangannya mengenai pembaharuan Pemikiran Islam.
Kesadaran semesta Islam ini dapat kita temui justru pada dataran perkaderan dan penyempurnaan konsep-konsep HMI mengenai keumatan dan kebangsaan. Berkembangnya daya intelektual kader HMI memberikan sebuah psikologichal striking force yang telah mencuatkan suatu tema perbincangan redefenisi modernisasi Islam, berbeda dengan dataran struktural HMI yang telah bias dan menodai ke-islaman HMI dalam sejarahnya Cak Nur pernah menegur keras kebiasaan HMI dari kongres ke kongres yang kurang terpuji, maupun alumninya yang korup.
Makna perkaderan dalam HMI secara umum terbagi atas dua,antara lain adalah: pertama, perkaderan dalam arti sesungguhnya. Yaitu perkaderan yang sesuai dengan pedoman perkaderan HMI, yaitu upaya untuk meningkatkan kualitas anggota HMI dalam mengetahui nilai, pengembangan nilai dan mengamalkan nilai dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, perkaderan di HMI adalah upaya penyadaran kepada kader maupun anggootanya untuk utuh atas kediriannya (Unity Personaliti) yang memadai sebagai bekal hidup dan fungsinya sebaga perwakilan Tuhan di muka bumi, yaitu sebagai penjaga keseimbangan antara microkosmic dengan macrokosmic sehingga terjadinya dinamisasi kehidupan saling membutuhkan tetapi tidak untuk menguasai.
Kedua, perkaderan dalam arti pemahaman yang dapat kita artikan dalam beberapa aspek (1) mencari anggota sebanyak banyaknya. (2) melakukan mobilisasi anggota dengan kesadaran yang komperhensif. (3) melakukan kaderisasi dengan sistem pencerdasan dan pencerahan. (4) memahamkan kepada anggota atas tujuan perkaderannya.
Lalu mengapa akhir-akhir ini perkaderan HMI lebih kepada mementingkan estafet struktural dalam organisasi ketimbang substansi yang diinginkan oleh tujuan HMI itu sendiri?. Maka tidak heran jika banyak orang atau alumni memberikan prediksi HMI kedepan akan tertatih-tatih dan secara perlahan- lahan menuju kematian.
Mampukah perkaderan HMI menyonsong masa depan?. Dengan ditinggalkannya pola perkaderan HMI pada era terdahulu dengan berdalih ketidaksesuaian dangan konteks zaman, maka saat itu pula mesti lahir Role Model perkaderan guna memberikan bentuk kecakapan untuk anggota HMI agar tidak gagap dengan perubahan zaman yang begitu cepat ini, diantaranya kemajuan teknologi yang semestinya dengan 5 kualitas Insan Cita HMI mampu menjawabnya sabagai Insan yang terjabarkan dalam pasal 5 AD HMI.
Lajunya perkembangan zaman dapat kita tandai dengan pengaruh pesatnya teknologi informasi dalam kehidupan masyarakat, hal ini mesti tidak hanya dipandang sebagai bagian dari kemampuan ilmu pengetahuan dalam menciptakan perkembangan kemajuan, hal ini juga harus dilihat dari epek yang lain seperti keran informasi yang menganga dengan lebar, teknologi informasi telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat, perubahan karakter dalam masyarakat dan banyak hal yang merubah masyarakat baik dari sosial, psikologi sampai pada biologisnya.
Lalu bagaiman pengaruhnya terhadap aset bangsa?, yaitu pemuda dalam hal yang lebih khusus Mahasiswa sebagi bagian terpenting untuk melangsungkan perkembangan organisasi ikwalnya HMI. Dewasa ini kecanggihan teknologi dan keran informasi yang tidak terbendung ini juga memberikan efek negatif terhadap masyarakat khususnya mahasiswa sebagai masyarakat elit dalam sosial. Kecangihan teknologi membentuk karakter mahasiswa lebih kepada manusia yang pragmatis dan konsumeris “santuy” bukan hanya itu basic pendidikan juga mendapatkan imbas dari kecanggihan teknologi pendidikan bukan lagi menjadi imperium pengetahuan melainkan tempat perkumpulan orang-orang yang sibuk dengan mengerjakan tugas dan membayar spp, ilmu pengetahuan tidak lagi ditemukan pada buku-buku melainkan berada dalam mesin genggaman dengan modal jari pada layar gadget, teori-teori dapat ditemukan dengan instan. Akhirnya konsep luhur pendidikan teralienasi jauh ke dalam jaringan dan kuota. Semua serba praktis akibatnya daya dan nalar kritis pun dimatikan.Tidak hanya itu, ruang sosial mahasiswa pun berada dalam ketelanjangan atau kecabulan rahasia dan berlangsung dalam bentuk lain yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap yang lain secara tak tampak dibalik jaringan media.
Sosialisasi kini hadir dalam bentuk informasi di dalam ruang- ruang virtual “Virtual Social Space”, bukan di ruang-ruang sosial yang nyata “Sosial Space”. Mulai dari reuni, ritual, pertemuan, silaturaHMI, bincang-berbincang, bahkan perdebatan dan protes kini hadir dalam wujudnya yang virtual (maya) dalam media dan jaringan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jean Baudrillard, media tidak menyebabkan sosialisasi, melainkan sebaliknya. “implosi kedalam massa” apa yang terjadi di dalam ruang-ruang yang media tersebut, yang di dalamnya berbagai hal mestinya dirahasiakan secara sosial di dunia nyata, justru di telanjangi untuk massa. Ia adalah tempat di mana rahasia pribadi seseorang dapat dibongkar, dibawa, dan dipertontonkan dalam ruang publik. Disinalah ketelanjangan itu terjadi.
Di depan TV, gadget, dan internet, orang tidak sekedar menonton, melihat, dan merespon. Akan tetapi, dalam waktu bersamaan ia sedang diawasi, dimata-matai, direkam, dan didata lalu di klasifikasikan oleh seseorang untuk berbagai kepentingan. karena perbincanag mengenai media tidak bisa dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik media. Karena dalam perkembangannya, media sebagai alat yang mutakhir untuk mencapai kepentingan. pertama, kepentingan ekonomi Economic Interest dan kepentingan kekuasaan Power Interest dan keduanya membentuk isi media Media Content.
Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang menyebabkan media hari ini sangat diminati. Contoh saja, mahasiswa berlomba- lomba untuk memiliki merek dan tipe gadget tercanggih demi kepentingan game, fitur,filter dan pengakuan publik. Akibatnya, kedua kepentingan tadi menjadi penentu apakah informasi yang disampaikan oleh media akan memuat sebuah kebenaran truth atau sebuah kebenaran palsu pseudo-truth. Ia merepresentasikan atau memelintirkan fakta sosial. Oleh karena itu, publik menjadi korban karena berada di balik dua kepentingan ini dan menjadikan mereka (publik) sebagai mayoritas yang diam dan membutuhkan (konsumeris) dan karena kepentingan itulah mereka masuk dalam konsep Public Sphere.
Sehingga Gramsci, mengatakan dominasi kekuasan yang diperjuangkan di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik Public Consent yaitu, penerimaan atas ide berkuasa oleh masyarakat luas, dan diekspresikan lewat opini publik. Mengapa demikian, karena opini publik dalam takaran kebenarannya (dapat dipercayai) melalui bentukan realitas yang disuguhkan oleh media. Yang kesemuanya itu hanya sekedar realitas artifisial, yang dalam penyempaiannya menyembunyikan sebagian kebenaran. Dan tidak hanya sebatas distorsi melalui politik informasi dan membentuk hiperrealitas dalam dunia sosial.
Melihat dari ragam bentuk pengaruh media informasi yang digambarkan oleh para sosiolog ini, mengharuskan HMI untuk menjemput sebagai sarana dan peluang sebagi Role Model perkaderannya yang akan memudahkan HMI dalam mensosialisaikan gagasan besarnya. Dengan memanfaatkan media informasi sebagai jalan perjuangan, perkaderan, pendidikan, dakwah, dan pencerahan demi terwujudnya martabat kemanusiaan sesuai dengan fitrahnya. Oleh sebab itu, HMI sebagai organisasi kader seharusnya mendidik kader-kader yang berkualitas dan memiliki daya jual tinggi sesuai dengan kebutuhan publik, yang nantinya diutus melalui media-media informasi yang sudah menjadi kebutuhan publik.
Media informasi yang bebas nilai ini semestinya di gunakan HMI sebagai jalur perjuangannya dalam ber-Amar ma’ruf Nahi Munkar sebagai tugasnya menjadi nabi-nabi sosial kader paripurna dan intelektual yang tercerahkan. Pengenalan terhadap pentingya media informasi semestinya selalu diajarkan dalam perkaderan HMI, agar kader maupun anggota HMI tidak gagap dalam perubahan zaman, menjadikan media informasi sebagai basis kekuatan HMI dalam aktivitas dan kegiatannya guna sebagai penyampaian dan pencerahan kepada publik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada kenyataannya realitas sosial telah memunculkan wajahnya yang baru dikarenakan oleh canggihnya ilmu pengetahuan. Bukan hal yang keliru jika Michel Foucault mengatakan “kekuasaan itu mempesona. Orang rela menderita demi kekuasaan, dan ilmu pengetahuan sangatlah besar peluangnya untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan” dan dewasa ini hal itulah yang terjadi seseorang mampu menghegemoni publik melalui teknologi informasi, melalui media sosial memudahkan untuk mengorganisir pasukan perang, rapat-rapat pemerintahpun demikian halnya, apatah lagi dengan pendidikan.
Maka dengan hadirnya kekuatan media sosial, HMI sebagai organisasi harus mampu menjadikan media informasi ini sebagai basis kekuatannya untuk menjalankan aktivitas dan kinerja organisasinya. Bukan sebaliknya media informasi mesti dipergunakan untuk membentuk manusia yang lebih rasional.
Potensi kader mesti teraktualisasi bukan hanya pada Social Space namun juga diharuskan dalam ruang-ruang yang lebih mudah untuk di akses sebagai bentuk sosial dan sosialisasinya kepada khalayak umum. Grand desain yan kreatif serta inovatif mampu menarik publik untuk memberikan simpatinya terhadap HMI, tujuan mulia HMI pun demikian. Melalui Virtual Social Space kader-kader HMI dituntut untuk lebih cerdas dan adaptif terhadap perkembangan kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan dalam era post-strukturalis ini. (*)
Penulis : Muhammad Iqbal
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.