Rumah Bagi Penyair
(Ilham Halimsyah)
“Kalau rumah bagi penyair adalah puisi. Maka saya harus segera pulang. ”
Setahun bahkan lebih, puisi-puisi saya tak lahir. Mungkin terhimpit rutinitas keseharian yang ritmenya menyita waktu. Hingga tak menyisakan tempat untuk sekadar berkontemplasi. Atau karena realitas yang saya jalani tak menyodorkan romantisme yang perlu diabadikan. Saya seperti kehilangan enargi kreatif untuk meramu kata, menyusun kalimat menjadi puisi memukau.
“Di teras hujan menderas. Seketika cuaca berkemas. Langit pun berganti lekas. Serupa cemas yang tak bisa diremas.”
Padahal, dalam kurun waktu 1996-2006, puisi-puisi saya terpublikasi secara meluas. Baik di media lokal maupun di media nasional. Baik pada terbitan harian, bulanan, maupun buku. Kalau menulis puisi membutuhkan sebuah stimulan, maka rangsangan inilah yang nampaknya tak hinggap dalam benak saya selama ini.
“Seketika angin menderu. Langit membiru. Padahal belum sempat ia menitip rindu.”
Kata-kata seperti menguap begitu saja. Tak sempat terabadikan. Peristiwa-peristiwa berlalu. Tanpa mampu kurekam secara gramatik. Ini juga bisa jadi karena peristiwa tersebut berlangsung secara berentetan. Sehingga belum sempat merefleksinya, datang lagi peristiwa lain. Dan ini memberondong sepanjang hari.
“Maka kubiarkan dingin memelukmu agar hujan beku di rindumu.”
Saya teringat perkataan seorang kawan penyair; “ada dua hal yang membuat puisi dapat dengan mudah lahir, pertama kalau kita jatuh cinta, kedua kalau kita patah hati.” Lantas apakah saya mesti jatuh cinta lagi untuk bisa mencipta puisi? Atau mesti patah hati dulu agar kembali melahirkan sajak?” ungkapku dalam hati.
“Kalau rumah bagi penyair adalah puisi. Maka saya rindu untuk pulang.”
28 Juni 2009