OPINI, PIJARNEWS.COM — Di awal tulisan ini izinkan saya mengutip pesan bapak Proklamator Indonesia Ir.Soekarno. “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. Pesan yang disampaikan oleh Bung Karno ini memiliki makna terdalam bagi saya sebagai seorang yang berprofesi junalis, sebab, menurut hemat penulis, menjadi seorang jurnalis atau apa pun profesi anda, pertama yang harus diniatkan adalah, jadikan profesimu jalan menuju untuk berbuat kebaikan.
Masih teringat jelas ketika saya menjalani tes wawancara oleh Kepala Biro Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA (LKBN ANTARA) Sulsel, dimana usai menjalani tes wawancara oleh bapak Fredrick C Kuen yang saat itu menjabat sebagai Kabiro LKBN ANTARA Sulsel, saya dihadiahi buku yang bertajuk Jurnalisme&Humanisme lengkap dengan bubuhan tanda tangan serta pesan yang bertuliskan “Jadilah pendekar pers”.
Entah kenapa kalimat singkat yang ditulis oleh pak Fred yang akrab kami sapa itu, menempel di otak saya. Kok, pendekar sih? Masa, jurnalis juga harus jadi pendekar? Nah, setelah saya jalani profesi ini selama belasan tahun, barulah kalimat ini benar-benar saya pahami. Bahwa menjadi seorang jurnalis sejati itu memiliki sikap rela berkorban. Jurnalis yang ditempatkan di medan perang atau daerah konflik, adalah sebuah bukti keberanian rela berkorban demi berita yang akan ia sampaikan pada dunia, jika berita saja ia rela berdiri di tengah peperangan dan orang berkonflik yang tentu akan mengancam nyawanya, apalagi mengenai cinta untuk kehidupannya.
Pada satu kesempatan saya mencoba meriview ingatan seorang sahabat seprofesi saya sebagai seorang jurnalis, saya pun bertanya “kondisi seperti apa yang bisa membuat kamu merasa menolong seseorang dengan profesi kita”, dengan spontan ia berkata, “ketika kita sudah memberitakan seseorang yang mengalami kondisi yang kurang beruntung, lalu kemudian orang berbondong-bondong memberinya bantuan”, sambil memegang dadanya, ia berkata “disitu kami merasakan kepuasan batin”.
Seseorang tentu memiliki cara tersendiri dalam mengobarkan semangat pengorbanan. Salah satu diantara tokoh pejuang yang berlatar belakang seorang jurnalis atau wartawan adalah Bung Tomo. Laki-laki kelahiran Surabaya 1920 ini, memiliki cara tersendiri mengobarkan semangat perjuangan dengan menggunakan jalur jurnalistik melalui siaran radio. Bung Tomo menggelorakan rakyat Indonesia, khususnya yang berada di Surabaya, untuk melawan penjajah Ingris yang ingin merebut kembali Indonesia. Bung Tomo berorasi lewat radio untuk membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 10 November 1945 itu, kemudian dijadikan sebagai hari Pahlawan Nasional.
Perlu diketahui bahwa Bung Tomo memiliki latar belakang dan sepak terjang di bidang jurnalistik sejak berusia 17 tahun. Pada tahun 1937, Sutomo merupakan jurnalis lepas atau freelance untuk harian Soeara Oemoem di Surabaya. Setahun kemudian, ia turut menjadi redaktur mingguan Pembela Rakyat dan Wakil Pimpinan Redaksi Kantor Berita Pendudukan Jepang DOMEI untuk wilayah Jawa Timur. Kemudian, tahun 1939 Sutomo berprofesi sebagai penulis dan jurnalis untuk harian berbahasa Jawa, Express di Surabaya. Lalu, pada tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan, dirinya menjadi Pimpinan Kantor Berita Antara Surabaya yang kini namanya berganti LKBN ANTARA.
Selain pernah menjadi jurnalis dan penulis di beberapa media, Bung Tomo juga pernah menjadi pendiri Kantor Berita Indonesia (KBI) di Surabaya pada 1 September 1945, sekarang menjadi Museum Pers Perjuangan. Setelah Indonesia merdeka, Bung Tomo beserta rekan-rekannya berjuang untuk memberitakan kemerdekaan Indonesia sampai ke luar negeri agar bisa diakui oleh dunia. Melalui Kantor Berita Indonesia itulah Bung Tomo menyuarakan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka.
Dalam hal ini Bung Tomo dapat dikatakan sebagai pelaku sejarah sekaligus saksi dari perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Pers telah ditetapkan sebagai pilar keempat demokrasi yang menyokong tata kelola Negara. Itulah bagian terpenting kepahlawanan yang melekat pada diri Bung Tomo yang perlu dihayati dan dikobarkan kembali oleh generasi penerus bangsa, termasuk kita para jurnalis di era sekarang ini. Sikap Bung Tomo patut dijadikan contoh bagi generasi penerus, bahwa jangan pernah takut untuk menyuarakan kebenaran karena satu gerakan kecil bisa membuat perubahan nasib bagi bangsa ini. Idealnya tugas yang diemban oleh para jurnalis sangatlah mulia, meski berat, yakni menjadi gatekeeper, whistle blower, dan pejuang kemanusiaan.
Di era kekinian atau di era milenial seperti sekarang ini, kita tidak lagi harus menjadi seorang jurnalis sekaligus menjadi seorang pejuang seperti di era Bung Tomo, kita tidak harus menjadi pendekar seperti arti pendekar yang sebenarnya. Akan tetapi, jadilah seorang jurnalis yang berpedoman pada kebenaran, jurnalistik adalah sarana yang sangat potensial sebagai ‘Agen of cahange’ atau agen perubahan yang bisa mempertemukan segala perbedaan menuju suatu harmonisasi kehidupan yang lebih indah. Jadikanlah profesi jurnalis sebagai promotor kebudayaan Indonesia yang jauh lebih berkualitas. Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip pesan Almarhum Asdar Muis RMS, yang bagi saya beliau adalah seorang mentor atau guru, meskipun sepeninggalnya tak mau mengakui saya sebagai muridnya, “niatkan berita yang kamu tulis demi untuk perubahan yang lebih baik, karena itu adalah jalan untuk berbuat kebaikan.” Jika kita senantisa berniat baik, niscaya diri-Nya akan mempertemukan kita dengan hal yang baik, orang-orang baik, tempat yang baik, dan kesempatan yang jauh lebih baik. Merdeka!!!
Parepare, 17 Agustus 2018