OPINI — Otonomi dan kepemimpinan, dua kata yang memiliki makna yang sangat berbeda, dua kata ini kembali teringat ketika penulis sedang memandu program acara radio Suara Celebes Makassar, bersama DR. Syahrul Yasin Limpo,SH, MH, yang kini menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, beberapa tahun yang silam.
Menurut orang nomor satu di Sulawesi Selatan ini, jika kata otonomi dan kepemimpinan disatukan menjadi “otonomi kepemimpinan” maka maknanya akan jauh lebih berbeda.
Jika diartikan secara harafiah, otonomi kepemimpinan seakan mengarah pada otoritas pemimpin yang bisa saja menjadi otoriter. Pemimpin yang demikian memiliki hak otonomi yang diatur dan mengatur dirinya sendiri.
Makanya model pemimpin seperti itu, tentu sangat kita tidak harapkan, tapi adakah pemimpin seperti itu? Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang, seperti dalam syair lagu Ebiet G Ade. Pada prinsipnya otoritas yang dimiliki oleh pemimpin itu harus bersesuai dengan kemauan dan harapan dengan orang yang dipimpinnya.
Krisis terbesar saat ini adalah krisis keteladanan dari seorang pemimpin. Masalah moral menempati posisi yang sangat memprihatinkan, dan sikap arogansi yang berlebihan masih saja ada pada orang yang merasa dirinya pemimpin. Hal ini disebabkan absennya pemimpin yang visioner, kompeten, memiliki spiritual dan integritas yang baik.
Seorang yang dibesarkan dalam lingkungan adat Bugis yang demokratis, harus memiliki kepekaan dan responsif dalam memahami dinamika perkembangan masyarakat. Sepereti ajaran lontara dengan satu sikap, bahwa “Kepemimpinan dari Pemimpinnya”.
Filosofi ini mengajarkan, Jati diri seorang pemimpin dengan yang dipimpinnya, bukan hubungan struktural yang mengandalkan hierarki jabatan yang mengandalkan kekuatan bahkan arogansi kepemimpinan.
Melainkan seorang pemimpin harus memiliki karakter yang arif dan bijaksana, memiliki kepekaan dan responsif dalam memahami dinamika masyarakat yang dipimpinnya, bukan selalu bangga dengan sikap ke-Akuannya.
Banyak pemimpin di kekinian yang gagal move on, dirinya merasa lebih bisa memimpin dari pada orang lain. Pemimpin gagal move on seperti ini lebih banyak merusak dari pada membangun. Dalam kaca matanya semua orang adalah anak kecil yang harus dituntun, dia lupa kalau kini dia telah tua dan perlu dituntun dengan tongkat. Tepok Jidat, “saya bukan anak kecil lagi paman”.
Memang berada pada zona nyaman atau bahasa kerennya “comfort zone” itu nyaman sekali, dielu-elukan, dipuja-puja, dihormati itu suatu makanan terlezat yang tidak bisa ditanggalkan oleh pemimpin tipe ini. Coba lihat betapa banyak disekeliling kita yang selalu tampil bak raja walaupun dirinya bukan raja.
Butuh sungkeman dan penghormatan untuk merasa nyaman dan masih mau dianggap pemimpin. Alangkah sedihnya.