Pengantar
Sebagaimana yang sudah disebutkan pada bagian pertama dari tulisan ini bahwa salah satu hal yang sangat menonjol dari Gurutta Ambodalle, yang membuat bisa disebut fenomenal, adalah dia membangun gerakan pendidikan dan dakwah, yang berbasis pada apa dikenal sebagai system pendidikan yang menyerupai pendidikan pesantren sekarang.Fenomenal karena sebelumnya tidak ada gerakan semacam itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi mungkin juga di Indonesia. Gerakan yang dimulai di Mangkoso memalui MAI Mangkoso, tahun 1938, yang mendapat dukungan tanpa batas dari Raja Mangkoso.
Gerakan yang menjadi jawaban atas kelangkaan pendidikan akibat penjajahan dan gerakan keagaaman yang tidak toleran kepada perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Gerakan yang bertumpu dan berpegang kepada nilai-nilai, ajaran dan padangan keagamaan ahlussunnah wal jama’ah. Gerakan tersebut kemudian, dengan dukungan ulama dan tokoh agama di Sulawesi Selatan, menjadi atau diberi payung yang bernama DDI, tahun 1947, agar lebih massif dan sistemis. Gurutta’ Ambo Dalle merintis dan membangun garakannya pada masa penjajahan (Belanda dan Jepang) yang diskrimantif (dalam segala bidang) dan mengabaikan pendidikan masyarakat, dan ketika diproklamasikan sebagai DDI, menghadapi situasi yang lebih mencekam, karena Sulawesi Selatan berada dalam pemberlakukan keadaan darurat militer yang sangat kejam; masa ketika Westerling mengganas di Sulawesi Selatan, melakukan pembantaian besar-besaran terhadap rakyat.
Dengan gerakan yang dipimpinnya itu, Gurutta’ sesungguhnya telah mengambil bagian sangat penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi cita-cita republik Indonesia, ketika diproklamirkan.
Kejayaan
Ada satu masa DDI terlihat berjalan dengan irama harmonis. Improviasasi yang ada didalamnya sama sekali tidak terlihat mengganggu jalannya organiasasi. Kondisi seperti itu terlihatmulai masa berdirinya sampai dengan masa awal Pemerintahan Orde Baru. Ada masa, DDI tidak dipimpin oleh Gurutta’, yakni ketika diculik oleh DI-TII, Kahar Muzakar. Meskipun menimbulkan shock, tetapi karena kesolidan generasi pertama itu, tidak mengganggu jalan oragnisasi, bahkan berkembang. Secara keseluruhan, mulai dari diproklamirkannya, sampai kepada Gurutta memimpin kembali DDI, bisa disebut sebagai masa kejayaan DDI sebagai sebuah gerakan pendidikan. Pada masa-masa itu, DDI tampil dengan karakternya yang khas, sebagai gerakan pendidikan dan da’wah, yang bertumpu pada sebuah sistem pendidikan yang sekarang disebut pendidikan pesantren, dan tumbuh diberbagai daerah melampaui batas-batas wilayah provinsi. DDI bisa dikatakan meng-Indonesia. Kebesaran DDI pada masa itu mungkin hanya bisa diatasi oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Salah satu yang tampak menonjol pada masa-masa awal periode ini adalah hampir setiap tahun DDI menyelenggarakan Muktamar. Mungkin juga itu dipengaruhi situasi sosial keagamaan masa itu, dimana benturan kepentingan antara kelompok tradisional, yang diwakili DDI, dengan gerakan puritanisme, sangat terasa, mengancam harmoni dalam masyarakat.
Dari Mangkoso ke Parepare
Setelah pertemuan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Wattangsoppeng, 1947 yang menghasilkan satu organisasi yang disebut Darud Da’wah wal Irsyad, disingkat DDI—untuk mendukung dan memayungi gerakan pendidikan yang telah dirintis oleh Gurutta’ Abd. Rahman Ambo Dalle—setahun kemudian, 1948, organisasi muda itu menyelenggarakan Muktamarnya yang pertama, di Parepare. Muktamar itu bisa dikatakan menggantikan posisi dan peran pertemuan rutin guru-guru dan pengurus MAI dan sekolah-sekolah yang dibina Gurutta’ Ambo Dalle selama periode Mangkoso. Isu-isu Muktamar, berkisar pada pengintegrasian sekolah-sekolah dan pengurus sekolah binaan Gurutta’, penertiban administrasi, serta pengukuhan pengurus dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Tidak ada perubahan mendasar, kecuali adanya pergeseran posisi dalam struktur organisasi, yakni M. Ali Yafie menjadi Sekretaris Umum, menggantikan posisi M. Abduh Pabbaja yang di geser ke posisi salah satu Kepala Bidang (Bidang Fatwa). Sejak dari awalnya DDI sudah dirancang untuk berkedudukan di Parepare. Kota ini, pada masa itu adalah kota kedua sesudah Makasar untuk wilayah Sulawesi Selatan. Mempunyai posisi strategis, dengan penduduk yang heterogen, yang menguntungkan bagi perkembangan DDI kelak.
Sebelumnya Gurutta’ Ambo Dalle sudah diminta oleh Raja Mallusetasi, La Calo Andi Cambolang, menjadi Qadli Mallusetasi. Tawaran itu, dengan persetujuan Raja Soppeng Riaja, diterima oleh Gurutta’ Ambo Dalle. Raja Soppeng Riaja menyetujui permintaan itu, mungkin karena jarak antara Parepare dan Mangkoso tidak begitu jauh, hanya sekitar 35 Km; memungkinkan Gurutta’ (yang waktu itu masih tinggal di Mangkoso) pulang-pergi tanpa banyak kesulitan. Tetapi pertimbangan yang lebih mendasar tampaknya adalah bahwa Qadli pada masa itu adalah posisi yang strategis, sangat menguntungkan bagi perkembangan DDI.
Gurutta’ Ambo Dalle, meskipun sudah menjadi Qadli Mallusetasi, masih tinggal di Mangkoso. Setiap hari Gurutta’ mondar-mandir Parepare – Mangkoso, dengan (dibonceng) Sepeda. DDI sendiri sudah berkantor di Parepare. DDI, tampaknya karena posisi Gurutta’ sebagai Qadli, memperoleh kantor yang respresentatif (untuk zamannya), berlokasi di pusat kota, dekat Mesjid Jami’ Parepare (sekarang). Pada tahun 1949, DDI menyelenggarakan Muktamarnya yang kedua di Parepare, dan, tahun 1950, Muktamar ke tiga di Makasar. Tidak ada perubahan mendasar, kecuali bahwa Parepare semakin mengukuhkan diri sebagai pusat DDI.
Berturut-turut DDI menyelenggarakan Muktamar ke empat, tahun 1952, dan Muktamar ke lima, 1953, di Parepare. Pada masa-masa itu juga Gurutta’ resmi pindah ke Parepare, setelah rumahnya yang disiapkan untuknya selesai dibangun, pada saat yang hampir bersamaan dengan rampungnya pembangunan sekolah yang didirikan memang untuk DDI, di Ujung Baru, Pare-Pare. Setelah pindah ke Parepare Gurutta’ menyerahkan kepemimpinan Pesantren DDI Mangkoso kepada K.H. Amberi Said, dan DDI Mangkoso, diberikan status (cabang) otonom.
Pada saat itu pelan-pelan pesantren DDI di Parepare tumbuh menjadi pilar gerakan pendidikan DDI, mulai memproduksi guru-guru—berdampingan dengan Mangkoso sebagai wadah menggodok guru-guru—yang dikirim ke daerah-daerah untuk memperkuat pendidikan di daerah, atau melayani permintaan daerah-daerah yang minta didukung dengan dikirimi guru atau tenaga untuk membangun sekolah disana.
Perkembangan lain adalah DDI ketika sudah dilengkapi dengan badan-badan otonom dan lembaga, seperti Fitiyatud Da’wah wal Irsyad (FiDI) yang bergerak dalam bidang Kepemudaan dan Kepanduan; Fatayanud Da’wah wal Irsyad (FaDI) yang bergerak dengan dan menggorganisir perempuan muda; Ummahatud Da’wah wal Irsyad (UMMAHAT), yang bergerak dan mengorganisir perempuan dan Ibu-Ibu. Beberapa tokoh perempuan DDI seperti Hj. Andi Bunayya dan Andi Syuhada muncul pada periode ini.
Diculik DI-TII Kahar Muzakkar
Di puncak kegairahannya berorganisasi, beberapa bulan sebelum Muktamar keenam, 1955, terjadi sebuah peristiwa yang cukup mengguncang masyarakat DDI. Gurutta’ Abdurrahman Ambo Dalle, dalam perjalanannya menuju Makasar, dihadang dan diculik oleh gerombolan DI-TII. Meskipun peristiwa itu cukup mengguncangkan DDI, tetapi organisasi tetap berjalan, karena kepemimpinan DDI tetap terjaga. K.H. M. Pabbaja untuk sementara didaulat menggantikan posisi Gurutta’. Posisi K.H.M. Pabbaja dikukuhkan pada Muktamar keenam, dipilih untuk menjadi Ketua Umum, dan K.H. Abd. Hakim Lukman ditetapkan sebagai Sekretaris Umum, untuk periode 1955-1957. Muktamar berikutnya, yang ketujuh, diselenggarakan di Pangkajene, Sidrap, menghasilkan kepemimpinan yang sama.
Baru pada pada Mukatamar kedelapan, tahun 1959, di Pinrang, Sawitto, K.H.M. Ali Yafie dipilih sebagai Ketua Umum, dan Muhammad Nur Hay ditetapkan sebagai Sekretaris Umum. Pada Muktamar kesembilan, 1962, di Parepare, kembali K.H.M. Ali Yafie dipilih sebagai Ketua Umum, dan Petta Tanetting Syamsudin diangkat sebagai Sekretaris Umum, untuk kepengurusan 1962-1965.
Keluar dari Hutan
Tahun 1964, setelah gerombolan DI-TII terdesak—dan kemudian takluk kepada Pemerintah RI, setelah Kahar Muzakkar tertembak mati—Gurutta’ Abdurrahman Ambo Dalle keluar dari hutan, setelah selama delapan tahun tinggal bersama DI-TII disana. Hal itu tentu saja di sambut dengan gembira oleh masyarakat DDI. Tidak lama berselang, K.H.M. Ali Yafie, yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum, bersama kawan-kawannya, berinsiatif segera menyelenggarakan semacam pertemuan besar dengan mengundang dan menghadirkan hampir seluruh tokoh-tokoh DDI masa itu, di Makasar. Hanya ada satu acara tunggal dalam pada acara itu. K.H.M. Ali Yafie, dengan persetujuan peserta yang hadir, menyerahkan Jabatan Ketua Umum kepada Gurutta’ Ambo Dalle. Pertemuan itu kemudian mengukuhkan Gurutta sebagai Ketua Umum seumur hidup. Selanjutnya Gurutta’ Ambo Dalle, dengan di dampingi oleh Petta Tanetting sebagai Sekretaris, kembali memimpin DDI, sampai Muktamar berikutnya. Pada pertemuan ini juga dikenalkan fungsi baru dalam struktur DDI, yang disebut Majelis Pembina, yang dipimpin oleh K.H.M. Ali Yafie.
(Bersambung)
Penulis:
Hilmy Ali Yafie