OPINI — Akhir-akhir ini perhatian kita masih berkutat pada kehadiran virus korona (Covid-19). Otoritas-otoritas sosial dan politik melakukan kampanye social distancing dengan menjaga jarak, menghindari keramaian, tinggal di rumah serta menghindari perkumpulan agar pandemi ini tidak merebak dan melesat semakin jauh sehingga memakan lebih banyak lagi korban jiwa.
Pemerintah bersama dengan pihak-pihak terkait telah melakukan berbagai upaya tindakan preventif. Berbagai lembaga pemerintahan pusat hingga daerah mulai menerapkan Work From Home (WFH), MUI mengeluarkan Fatwa, hingga instansi-instansi pendidikan tinggi menggelar kuliah daring. Meski kebijakan-kebijakan tersebut banyak menuai kritik, atau terjadi pro dan kontra atas kebijakan yang diambil saat ini, tetapi paling tidak usaha-usaha itu muaranya adalah menawarkan perlindungan nyata dari penyakit menular ini.
Namun, ada dilema sosial tersendiri dalam masa anjuran relasi berjarak (social distancing) tersebut.
Adalah sulit memikirkan karakter sebagian anggota masyarakat yang cenderung abai atau tidak patuh (disobey) dalam masa pencegahan Covid-19. Di saat ditawarkan cara-cara tindakan protektif untuk memutus mata rantai virus ini, masih banyak orang yang memenuhi mall, menghabiskan malam di warkop, menggelar pertemuan-pertemuan agama, berkumpul dalam acara arisan, rekreasi di pantai, melaksanakan hajatan pernikahan termasuk beberapa masjid kukuh melaksanakan shalat berjamaah 5 waktu. Bagaimana kita memahami fenomena ini?
*Corona dan Tertib Sosial
Di tengah sengkarut kasus dan dampak epidemi Corona yang melonjak secara dramatis, harus diakui bahwa ada sebagian anggota masyarakat yang memang bersikap acuh bahkan menyangkal anjuran-anjuran yang ada. Itu semua dalam taraf tertentu. Meminjam istilah Bahrul Amsal, bahwa walaupun istilah tersebut agak kurang pas tetapi ini bisa disebut sebagai Civil Disobedience (pembangkangan sipil atau masyarakat).
Tentu tidak semua anggota masyarakat bersikap demikian. Masih banyak juga yang mematuhi instruksi yang ada. Pun bisa dimaklumi bahwa tidak semua anggota masyarakat menyanggupi maklumat social distancing, terutama pada mereka yang sehari-harinya harus mencari nafkah buat kebutuhan anggota keluarganya. Akan tetapi, keadaan kepatuhan masyarakat memang sangat diperlukan saat ini. Untuk beberapa hari ke depan. Sebab, jika menunggu jatuhnya korban lalu mengisolasi diri dan membentuk jarak, itu tidak ada jaminan bahwa sanak saudara, tetangga, hingga rekan kantor kita, telah terjangkit penyakit ini.
Dalam situasi ini, masyarakat perlu bersama-sama mematuhi anjuran-anjuran yang ada. Adakah kita belajar dari negara Italia. Pada mulanya, mereka menganggap Corona sebagai sesuatu yang tidak membahayakan. Pada awal-awal kasus Corona muncul, mereka menjalani rutinitas tanpa peduli pada petunjuk pemerintah dan ahli-ahli kesehatan. Orang-orang tetap menjalani hidupnya seperti biasa, pergi bekerja, pergi ke tempat-tempat hiburan hingga melakukan ritual ibadah. Mereka semua berkumpul dalam keramaian dan tidak ada sekat-sekat dalam hubungan. Tetapi, ternyata tindakan itu semua keliru.
Ketika negara Italia tidak mampu lagi membendung laju korban kematian warganya akibat Virus Corona, di sanalah puncak kesadaran rakyatnya akan pentingnya tunduk dan patuh pada instruksi pemerintah. Tatkala Corona merenggut 200 jiwa dalam sehari. Dokter memilih siapa yang didahulukan mati lantaran rumah sakit tidak mampu menampung para pasien. Barulah muncul kesadaran dalam dirinya bahwa selama ini kita teledor, tidak mau diatur, bahkan egois terhadap diri sendiri dan orang lain.
*Peran Lembaga Sosial
Tercapainya perlindungan diri dengan menerapkan social distancing, tidaklah cukup hanya dilakukan lembaga pemerintah. Sebab munculnya tindakan tidak mematuhi instruksi ini oleh sebagian anggota masyarakat, selain memang dorongan dari dalam dirinya juga karena faktor yang berasal dari luar, seperti peran lembaga keluarga, hukum, lembaga pendidikan termasuk lembaga agama yang tidak efektif memberi pencerahan.
Secara sosiologis, terjadinya ketidakpatuhan, sebagaimana juga perilaku menyesuaikan diri (conform), dipastikan selalu ada dalam setiap perikehidupan bermasyarakat. Lebih-lebih pada masyarakat yang bersifat terbuka atau mungkin permisif (serba boleh atau kontrol sosialnya sangat longgar) (Setiadi, 2011). Betapa tidak, setiap hari ada ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki aktivitas untuk memenuhi tujuannya masing-masing yang tidak mungkin semuanya bisa dikontrol.
Memang secara sepintas aktivitas-aktivitas itu secara otomatis menjadi hak mereka. Sehingga, untuk mencegah bepergian atau menganjurkan mengisolasi diri bukanlah perkara mudah. Tetapi, ini lagi-lagi menyangkut kemaslahatan jiwa orang banyak. Di sinilah peran lembaga-lembaga sosial di atas sangat diperlukan untuk meyakinkan anggota masyarakat agar berkomitmen bersama menghentikan penyebaran epidemi ini.
Pada sisi tertentu kelompok yang sadar akan mara bahaya corona, yang menyesuaikan diri atau mengikuti instruksi yang ada, tidaklah menjadi persoalan. Akan tetapi, bagi kelompok-kelompok yang mengabaikan kengerian penularan virus ini, dalam derajad tertentu membahayakan kehidupan banyak orang. Ini bukan spekulasi belaka. Virus ini begitu cepat melesat. Virus ini telah menyebar ke-169 negara dan menginfeksi 271.629 orang dengan jumlah kematin 11.280 jiwa (Worldmeter, Jhons Hopkins University per 20 Maret 2020). Dan diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah jika tidak diputus mata rantai penyebarannya.
Untuk itu, perlu peran serta lembaga sosial kemasyarakatan dalam pengendalian sosial preventif. Jika perlu pengendalian dilakukan secara represif oleh pihak yang berwenang jika masih banyak yang ngeyel keluyuran dan tidak mau mengindahkan larangan yang ada. Lembaga agama seperti masjid misalnya, setelah ada Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), saya kira tidak ada lagi alasan untuk tidak senantiasa menyebarluaskan informasi tersebut ke masyarakat luas dalam rangka menjaga kehatian-hatian.
Kalau selama ini masjid sering kali kita jadikan sebagai media dan fungsi sosialisasi kesehatan seperti mengajak ibu-ibu berkunjung ke Posyandu demi menjaga kesehatan anak-anak balita mereka, mengapa tidak dimulai dari masjid juga mensosialisasikan bahaya pandemi ini. Itu bisa diprakarsai oleh tokok-tokoh keagamaan. Bukankah bencana kesehatan akibat corona ini sudah ada di depan mata kita!.
Begitu pun lembaga terkecil seperti keluarga. Keluarga sebagai lembaga sosial dasar dapat menjadi titik awal pencegahan Corona. Seorang kepala keluarga harus mensosialisasikan sekaligus menawarkan perlindungan nyata dari penyakit ini. Dengan kata lain, suatu keluarga mempelajari dan mempraktikkan apa yang perlu dilakukan dalam rangka mencegah virus ini. Minimal memperingatkan anggota keluarganya untuk tidak banyak menjalin relasi sosial di luar rumah.
*Perlunya Kesadaran Masyarakat
Satu hal yang pasti bahwa menggelorakan social distancing untuk kemudian diterapkan, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Hal ini karena sering kali ada ketidaktahuan, ketidakmengertian sampai pada ketidakpatuhan masyarakat.
Di situasi ini, diperlukan peran serta semua lapisan masyarakat untuk memastikan informasi-informasi itu sampai pada masyarakat luas. Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti yang disinggung sebelumnya perlu terus memberikan penerangan agar warga masyarakat memahami apa sesungguhnya yang sedang kita hadapi saat ini.
Mengapa perlu kesadaran masyarakat? Sampai era modern saat ini, tidak kita nafikan bahwa manusia biasanya menyandarkan penyakit pada Tuhan yang marah. Baginya, urusan hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Sehingga, anjuran, arahan dan atau aturan pemerintah tidak dipedulikan lagi. Titik ekstremnya, mereka kadang kala tidak mencurigai adanya bakteri dan virus yang mematikan itu. Mereka kukuh bahwa kita hanya perlu berdoa bersama di masjid, tidak perlu takut pada corona. Tak ayal masih banyak orang-orang berkumpul memanjatkan doa-doa massal untuk meminta perlindungan. Sialnya, tatkala berkumpul untuk beribadah dan berdoa bersama, itu malah menyebabkan penularan massal.
Masyarakat seringkali mengabaikan rambu-rambu yang ada, berinisiatif sendiri bahkan tidak mau dikontrol. Padahal tidak satu pun yang bisa selamat dari virus ini apabila telah tertular dan tidak ditangani dengan baik secara medis. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof Zhong Nan Shan, Kepala Tim Dokter Covid-19 China yang juga ikut menanggulangi wabah SARS 2003, bahwa jangan pernah punya rasa percaya diri berlebihan atau hendak beradu nasib mujur, sebab tak seorang pun bisa luput dari serangan Covid-19. Jangan coba-coba menantang virus ini, karena Anda akan menyesal seumur hidup. Sekalipun Anda berhasil sembuh, nyawa Anda tinggal separuh, paru-paru Anda tetap sudah rusak. Hilangkan rasa congkak pada diri Anda dalam perang melawan epidemi ini. Demikian nasehatnya.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengutip tulisan Yuval Noah Harari, sejarawan kontemporer yang banyak mengulas tentang pandemi-pandemi dalam sejarah peradaban umat manusia. Bahwa saat ini bangsa manusia sedang menghadapi krisis global. Mungkin krisis terbesar dalam generasi kita. Keputusan yang dibuat masyarakat dan pemerintah dalam beberapa minggu ke depan mungkin akan membentuk wajah dunia untuk tahun-tahun mendatang.
Menurut Harari, kita juga harus memperhitungkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan kita. Ketika memilih diantara pelbagai alternatif, kita harus bertanya pada diri sendiri bukan hanya tentang bagaimana mengatasi ancaman langsung, tapi juga dunia seperti apa yang akan kita huni setelah badai ini berlalu. Ya, badai akan berlalu, umat manusia akan selamat, sebagian besar dari kita masih hidup―tetapi kita akan mendiami sebuah dunia yang berbeda.
Untuk itu, di situasi ini yang diperlukan adalah senantiasa menjaga diri dan keluarga, mengingatkan masyarakat luas akan bahaya Covid-19, berempati terhadap yang lain, saling menguatkan dan menghibur. Ikhtiar terbaik kita saat ini hanyalah berupaya berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain. Wallahu A’lam Bissawab. (*)