OPINI – Kekeringan spiritual banyak dirasakan masyarakat saat ini sehingga sering dijumpai video-video yang menggambarkan kenekatan sebagian orang untuk tetap melaksanakan salat berjamaah di masjid, meskipun sudah dilarang oleh pemerintah berdasar pada fatwa MUI.
Ada yang demo agar masjid segera dibuka, ada yang mematikan lampu saat ibadah agar tidak terpantau, ada yang memanjat pagar karena tergembok, ada yang berdebat dengan petugas, bahkan ada yang sampai siap melakukan perlawanan jika terus menerus dilarang berjamaah di masjid. Belum lagi, video-video yang menyuguhkan curahan hati dari marbot, imam, pengurus hingga jamaah masjid yang selama ini setia berjamaah salat lima waktu di masjid. Mereka gemetar ketakutan, marasa tidak lagi memiliki semangat hidup bahkan ada yang merasa sudah tidak beragama Islam lagi karena sudah lebih dari 3 kali tidak salat jum’at.
Hal ini menjadi tantangan bagi MUI mulai dari pusat sampai ke daerah untuk mengakomodir kegelisahan masyarakat sehingga bisa lahir fatwa yang lebih akomodatif bagi masyarakat yang memenuhi dua aspek yaitu terpenuhinya pencegahan penyebaran Covid-19 sekaligus terpenuhinya kebutuhan spiritual masyarakat. Sejatinya, Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 sudah akomodatif dengan melakukan klasifikasi orang yang wajib salat jumat, begitu pula daerah yang tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat jumat, akan tetapi MUI di daerah, baik provinsi maupun kabupaten terkadang mengambil fatwa yang sapu jagat dan sapu rata.
Semua masjid dilarang melaksanakan salat jamaah dan jumat di masjid padahal daerahnya belum ditetapkan sebagai daerah yang tidak terkendali. Di sisi lain, masyarakat melihat pasar masih buka tanpa aturan, toko masih membuka layanan, pantai masih ramai, jalan-jalan masih sibuk, namun masjid begitu ketat aturan yang diberlakukan.
Pertanyaannya kemudian bagaimana menyelesaikan persoalan yang pelik ini? Dalam ushul fikih ditemukan pembahasan ta’arudh al-adillah (pertentangan dalil) dan metode penyelesaiannya, setidaknya ada empat metode yang digunakan. Pertama, metode al-jam‘u wa al- taufiq yaitu kedua dalil dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Artinya kewajiban tetap terlaksana dan pencegahan juga dapat dilakukan. Kedua, metode al-tarjih yaitu meneliti dan menentukan petunjuk dalil yang memiliki argumen yang lebih kuat. Metode inilah yang banyak digunakan dalam fatwa masa pandemi saat ini yaitu mengunggulkan dar’u al-mafaasid (menolak bahaya) daripada jalb al-mashalih (mendatangkan maslahat). Mafsadahnya adalah potensi tertular virus corona, sedangkan masalahatnya adalah terlaksananya kewajiban berupa salat jumat dan salat jamaah di masjid. Ketiga metode al-nasikh wa al-mansukh yaitu petunjuk dalil yang satu sebagai penghapus sedang dalil yang satunya lagi sebagai yang dihapus. Metode ini kurang relevan dalam konteks ini. Keempat, metode al-tauqīf atau tawaqquf yaitu menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan. Metode ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk menunggu keluarnya fatwa baru.