OPINI— Tradisi Bugis meyakini bahwa prosesi nikah bagus dilaksanakan pada waktu tertentu, biasanya penentuan itu didasarkan pada catatan lontara warisan pendahulunya. Saat lamaran (mappaserekeng) salah satu kesepakatan yang dibicarakan adalah penentuan hari dan waktu pelaksanaan aqad ijab dan qabul bagi calon mempelai.
Rasionya, semua waktu adalah baik, tergantung orang yang melakoninya meski terdapat orang mengatasnamakan waktu atas kegagalannya, mereka tidak segan mengkambing-hitamkan waktu dibalik kelemahannya. Sebut saja kebiasaan menyalahkan dan membanding-bandingkan orde atau fase (satuan waktu), bahwa orde ini lebih baik dari sebelumnya atau dengan kalimat sebaliknya.
Diskusi tentang bahasan di atas tidak pernah putus, namun sederhananya, fakta sosio-kultural muslim bugis umumnya meyakini tentang eksistensi waktu mulia dan berkah. Misalnya melakukan sesuatu dengan niat baik di bulan Sya’ban akan mendatangkan berkah dan dimudahkan rezkinya. Keyakinan inilah dijadikan alasan hingga grafik peristiwa nikah meningkat di bulan tersebut.
Menarik, saat menjelang masuknya bulan Sya’ban, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama pemerintah mengeluarkan imbauan social distance. Pesta pernikahan yang telah disepakati waktu dan hari pelaksanaan aqad ijab/qabulnya, oleh sebagian orang dibatalkan dan sebagian lainya bergeser dari kesepakatan waktu, dengan alasan merebaknya virus covid 19.
Kasus tersebut disebutnya sebagai “Pembatalan Nikah” seperti dalam beberapa unggahan facebook. Jika dikaitkan dengan legalitas yuridis formal maka pembatalan dengan alasan corona dalam hukum disebut inkonstitusional, karena bertentangan Undang Undang Dasar 1945 yang menjadi referensi pijakan berlakunya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perspektif UU No. 1 mengemukakan beberapa alasan pembatalan nikah yaitu:
1. Pernikahan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
2. Perempuan yang dinikahi ternyata masih istri sah orang lain yang dianggap sudah hilang (mafqud);
3. Perempuan yang dinikahi masih dalam hitungan masa iddah dari suami sebelumnya;
4. Pernikahan melanggar batas umur tanpa dispensasi dari Pengadilan Agama;
5. Pernikahan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
6. Pernikahan paksaan.
Pergeseran dan penundaan waktu pelaksanaan pernikahan dalam terminologi Undang-undang tidak layak dikatakan pembatalan karena sejumlah item dikemukakan di atas, kriterianya sangat jelas bahwa pembatalan hanya berlaku bagi pasangan suami isteri yang telah melangsungkan pernikahan. Bukan pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.
Batal dalam perspektif hukum adalah sesuatu yang tidak memiliki akibat hukum. Jika dikaitkan dengan hukum perjanjian maka ada dua identifikasi hukum dilakukan: Pertama, jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif maka itulah yang disebut batal demi hukum. Kedua, jika perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif maka disebut dibatalkan. Sementara dalam kajian Ushul al Fiqh adalah lawan dari kata sah (valid), simbol atas perbuatan yang tidak valid. Dikatakan batal karena, tidak terpenuhinya syarat dan rukun (ترك الاركان والشروط).
Karena itu, jika keadaan dan waktu yang dibatalkan maka tidak ada keterkaitan antara rukun dan syarat pernikahan sehingga tidak memerlukan permintaan dari para pihak untuk diproses melalui pengadilan. peristiwa ini cukup dengan membangun kesepakatan antar keduanya.
Dengan demikian terma pembatalan nikah alasan merebaknya virus covid 19 hanya terkait dengan penggunaan bahasa, bukan sebagai peristiwa hukum seperti dalam Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum positif di Indonesia. (*)
Penulis : Dr Agus Muchsin, Dosen IAIN Parepare