OPINI-Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang mengubah ambang batas syarat pencalonan di pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 mendapatkan apresiasi dan komentar dari berbagai kalangan. Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini langsung berlaku untuk Pilkada 2024. Sebab, putusan MK ini tidak menyebut penundaan pemberlakuan putusan pada pilkada mendatang seperti halnya Putusan MK terkait Ambang Batas Parlemen No.116/PUU-XXI/2023 (berlaku setelah 2024, yakni di Pemilu 2029).
Berikut penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024:
Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:
“Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: Untuk mengusulkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur:
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut;
- Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut;
Untuk mengusulkan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Wali Kota dan calon wakil Wali Kota:
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut;
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di kabupaten/kota tersebut;”.
Sebagai implikasi Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib mengubah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Praktis KPU masih punya waktu sekitar 7 hari untuk mempelajari secara komprehensif Putusan MK tersebut. Tentu ada beberapa point yang perlu disesuaikan terkait teknis pendaftaran yang telah diatur sebelumnya di PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Namun menurut penulis, jika waktu yang ada kurang memadai karena harus konsultasi ke DPR dulu, maka KPU cukup menempuh langkah yang sama pada saat menindaklanjuti Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Karena Putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada ini sama persis dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang memberi tiket pencalonan dan digunakan Gibran untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu. Jadi Putusan MK bisa langsung diberlakukan dengan atau tanpa perubaan PKPU karena Putusan MK bersifat erga omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara dan lembaga negara setelah dibacakan didepan persidangan yang terbuka untuk umum, sehingga akan menjadi keliru jika KPU berani mengabaikan atau menafsirkan lain putusan MK ini.
Menurut penulis, MK kini telah merekonstruksi demokrasi indonesias yang lebih kompetitif, di mana semua partai politik, besar atau kecil, memiliki kesempatan yang sama untuk mengusung kader-kader terbaiknya. Bahkan partai non parlemen yang tidak memiliki kursi pun bisa ikut mengusung calon kepala daerah sepanjang mencapai persentase yang telah diatur secara limitatif dalam putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang disebutkan diatas. Dengan demikian suara rakyat kini lebih berharga karena tidak ada lagi perolehan suara yang kesannya dianggap mubasir dan sia-sia jika partainya tidak lolos ke parlemen.
Selain itu, implikasi positif Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini akan membuat setiap partai peserta pemilu untuk bekerja keras untuk meraih suara rakyat pada pemilu 2029 yang akan datang, karena fokus utamanya bukan hanya meraih kursi di parlemen, tetapi juga mencapai ambang batas perolehan suara sah sesuai jumlah DPT didaerahnya masing-masing agar nantinya bisa mengusung kader terbaiknya maju menjadi calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah.
Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini juga otomatis merubah konstalasi politik di daerah, tujuh hari menjelang pendaftran calon kepala daerah akan dimanfaatkan oleh para figur yang sebelumnya sudah lempar handuk karena tidak mendapatkan rekomendasi partai politik, kini seakan mendapatkan semangat dan harapan baru. Bahkan skenario kotak kosong atau calon tunggal dibeberapa daerah bisa dicegah dengan adanya putusan MK ini, mengingat ada beberapa daerah yang memborong seluruh partai untuk memaksakan kotak kosong agar bisa menang mudah dalam Pilkada. Baliho dan spanduk bakal calon yang ketinggalan kereta kini masih punya waktu untuk meloby pemilik kendaraan (baca: partai politik) agar bisa di usung sebagai calon kepala daerah dan atau wakil kepala daerah.
Semoga saja Putusan MK ini menjadi langkah awal dalam memperbaiki sistem pencalonan dalam internal setiap partai politik. Partai politik harus berani mengusung kadernya sendiri agar ideologi dan visi misi partai bisa dijalankan secara konsisten. Perolehan suara partai politik ini mempunyai nilai yang berharga karena bisa diperhitungkan dalam mengusung calon kepala daerah, sehingga harapannya kedepan partai politik dapat lebih bekerja keras untuk mendapatkan suara rakyat dalam pemilu. (*)
Penulis : Rusdianto Sudirman, S.H, M.H, C.Me
(Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare/ Ketua LBH GP ANSOR Kota Parepare)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.