MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Area persawahan Lamberang, Desa Paddinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, pagi sekira pukul 10.00, riuh oleh suara anak-anak. Suara keriuhan itu sesekali muncul jika ada yang nyaris terpeleset saat berjalan di pematang atau begitu ada yang melihat keong emas.
Hari itu, Sabtu (27/1/2018) memang menjadi pengalaman pertama bagi 120 murid SDN Kompleks Sambung Jawa (KoSamJa), Makassar, untuk belajar langsung tentang lingkungan hidup dari alam. Kepala SDN KoSamja, Fahmawati S.Pd, M.Pd, mengatakan bahwa kegiatan ini juga dirangkaikan dengan Hari Lahan Basah dan Hari Gizi Nasional.
Saking gembiranya anak-anak berjalan di pematang sawah, ada yang berjalan hingga masuk wilayah Kabupaten Gowa. Area persawahan ini kebetulan memang berada tepat di perbatasan Kabupaten Gowa-Takalar. Padahal mereka mestinya berkumpul di bawah pohon mangga yang ada di sekitar situ untuk mendapat materi tentang lingkungan dari Kak Irma dan teman-temannya dari TIME Indonesia. Mereka duduk membentuk lingkaran tanpa mempedulikan celananya yang kotor.
Materi-materi sederhana tentang tanah, udara dan air disampaikan oleh Kak Irma dengan cukup menarik. Ia juga menunjuk sawah-sawah yang hijau sebagai contoh baik bila kita memanfaatkan alam. Lalu menunjuk area mirip kubangan yang terjadi akibat adanya penggalian oleh eskavator.
“Adik-adik coba lihat ke sana. Ada semacam genangan yang terjadi karena digali oleh kendaraan berat, yang oleh warga di sini disebut mobil sondok-sondok,” jelas Irma yang pernah aktif di Dewan Anak Desa Paddinging dan Forum Interaksi Anak Takalar (FIAT). Ketika masih kanak-kanak, Irma dan teman-temannya itu mendapat pendampingan untuk partisipasi anak dan pendidikan kritis dari Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN) Makassar.
Irma lalu meminta anak-anak memejamkan mata untuk mendengar suara alam. Sementara guru-guru dan para orangtua yang mengantar anaknya juga diminta tak bersuara, termasuk bunyi-bunyian dari telepon genggam. Setelah berdiam beberapa jenak, Irma bertanya, “Ada berapa suara yang didengar?”
“Saya kak … saya kak… saya kak,” begitu terdengar suara seorang anak sambil mengacungkan jari. Murid kelas 5 itu menyebut ada 5 suara, yakni suara air, suara padi yang ditiup anging, suara daun-daun mangga, suara kodok dan suara burung. Ada juga yang menjawab hanya 3 suara yang didengar, yang lain menjawab 2 suara.
Setelah itu, anak-anak bersiap-siap turun ke sawah. Mereka akan menanam padi di area persawahan yang sudah disediakan. Namun mereka diminta tidak membawa tas, melepas sepatu dan menaruh botol minuman agar tidak kotor. Sebelum turun, mereka dibagi atas kelompok-kelompok kecil.
Nama-nama kelompoknya juga disesuaikan dengan aktivitas hari itu, seperti mangga, padi dan rappo-rappo. Ada anak yang bertanya, apa itu rappo-rappo? Hasan, kakak pendamping dari TIME menjelaskan bahwa rappo-rappo itu buah sejenis coppeng. Nah, tentu nama-nama seperti ini aneh bagi anak-anak kekinian yang besar di kota.
Begitu mereka menuju ke lokasi penanaman padi, keseruan baru terjadi. Pematang yang basah karena pagi tadi sempat turun gerimis membuat tanah menjadi licin. Beberapa anak sempat tergelincir jatuh. Saat mereka menjejakkan kaki ke lumpur sawah, beberapa anak ada yang menjerit. Rupanya mereka kaget karena lumpur cukup dalam, hingga nyaris semua betisnya terendam.
Anak-anak diberi masing-masing 3 bibit padi untuk ditanam. Sembari menanam mereka mendapat penjelasan tentang perawatan padi hingga berapa lama nanti baru bisa dipanen. Setelah kegiatan menanam padi selesai, anak-anak kembali ke rumah kak Irma. Saat jalan menuju pulang itu, mereka singgah membersihkan kaki-kakinya yang berlumpur di sumur warga. Rupanya ada juga yang baru pertama kali melihat sumur. Di rumahnya yang menjadi home base TIME Indonesia, kak Irma kembali mengingatkan pentingnya bijak memanfaatkan alam.
“Jadi sekarang sudah paham kan bahwa butuh waktu lama bagi petani menanam padinya di sawah? Setelah jadi padi, masih ada proses lagi untuk jadi beras, lalu dimasak jadi nasi,” papar Irma.(rls/asw)