PAREPARE,PIJARNEWS.COM-Di tengah hiruk-pikuk opini publik yang semakin memanas, muncul suara kritik tajam dari Pansus Haji DPR RI terhadap keberhasilan pelaksanaan haji 2024 oleh Kementerian Agama RI. Apakah kritik ini semata-mata didorong oleh kepentingan politik, ataukah terdapat esensi yang perlu kita renungkan bersama?
Bayangkan ribuan jemaah haji yang menatap langit, mempersiapkan diri untuk perjalanan suci mereka. Di balik setiap langkah mereka, terdapat tim yang bekerja tanpa lelah, menghadapi tantangan administrasi dan logistik yang tak terhitung jumlahnya. Pelaksanaan haji bukanlah sekadar ritual; ini adalah manifestasi dari dedikasi dan komitmen para pelayan agama. Namun, dalam setiap upaya, selalu ada ruang untuk perbaikan. Apakah kita bisa menutup mata terhadap keberhasilan yang telah dicapai hanya karena beberapa kritik teknis?
Kemenag, di bawah kepemimpinan Menteri Agama, telah menunjukkan upaya yang luar biasa. Tahun ini, pelayanan kepada jemaah mengalami peningkatan signifikan. Fasilitas yang lebih baik, transportasi yang lebih tertib, dan pendampingan yang lebih profesional adalah bukti nyata dari kerja keras mereka. Namun, di tengah pujian ini, kritik Pansus Haji DPR RI terhadap penggunaan teknologi Siskohat dan Siskopatuh tak bisa diabaikan begitu saja. Sistem ini memang menghadapi beberapa kendala, namun bukankah setiap inovasi besar selalu disertai tantangan awal? Apakah kita memberikan ruang bagi Kemenag untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan sistem ini demi transparansi dan efisiensi yang lebih baik?
Kaidah Fiqh dan Kebijakan Kemaslahatan dalam Pelaksanaan Haji
Dalam menilai kebijakan dan kritik terhadap pelaksanaan haji ini, kita perlu merujuk pada kaidah fiqh, khususnya: “Tasharruf al-imam ‘ala al-ra‘iyyah manutun bi al-maslahah” (Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berlandaskan kemaslahatan). Kemenag, sebagai pemimpin yang diberi amanah menyelenggarakan ibadah haji, telah mengambil kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan jemaah. Peningkatan fasilitas, pengelolaan transportasi yang tertib, dan pendampingan jemaah yang lebih profesional adalah upaya nyata untuk memenuhi hak-hak jemaah.
Kritik dari Pansus Haji DPR RI juga harus dilihat dalam kerangka kaidah ini. Kritik yang berlandaskan kemaslahatan dapat menjadi pendorong bagi perbaikan pelayanan haji. Sebaliknya, jika kritik lebih mengarah pada kepentingan politik, maka ia justru berpotensi mengabaikan keberhasilan dan kemaslahatan yang telah dicapai oleh Kemenag. Maka, marilah kita mengingat bahwa segala bentuk kebijakan, baik dari Kemenag maupun Pansus, harus berakar pada upaya menghadirkan kemaslahatan bagi umat.
Pengelolaan Kuota Haji: Adil dan Berbasis Kemanusiaan
Pengelolaan kuota haji juga menjadi sorotan. Dengan kuota yang terbatas, Kemenag berhasil mengalokasikannya secara adil, memprioritaskan jemaah yang paling membutuhkan—lansia, penyandang disabilitas, dan mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal kemanusiaan yang mendalam. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara kebutuhan administratif dan empati terhadap jemaah?
Di sinilah kaidah fiqh lain perlu kita terapkan: “Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” (Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, janganlah ditinggalkan semuanya). Pelaksanaan haji 2024 mungkin belum mencapai kesempurnaan di semua aspek. Penggunaan teknologi seperti Siskohat dan Siskopatuh masih memiliki beberapa kelemahan, dan pengelolaan kuota jemaah tetap menjadi tantangan. Namun, kaidah ini mengajarkan kita untuk tidak mengabaikan keseluruhan pencapaian hanya karena adanya kekurangan.
Keberhasilan dalam meningkatkan fasilitas, pelayanan transportasi, dan pendampingan jemaah adalah bukti nyata dari upaya yang telah dilakukan oleh Kemenag. Pansus Haji DPR RI memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan kritik, namun perlu diingat bahwa kritik harus proporsional. Tidak bisa kita menilai pelaksanaan haji 2024 sebagai “gagal” hanya karena beberapa aspek masih membutuhkan perbaikan. Sebaliknya, apresiasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai perlu disampaikan untuk memotivasi dan mendorong penyempurnaan lebih lanjut.
Selain itu, kaidah fiqh “Al-Kharaj bi al-Dhaman” (Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian) juga relevan dalam konteks ini. Kemenag, dengan segala upayanya dalam menyelenggarakan haji, telah siap menanggung risiko dan tantangan yang muncul. Peningkatan pelayanan dan berbagai inovasi yang diterapkan oleh Kemenag membawa keuntungan, tidak hanya bagi jemaah tetapi juga citra pelayanan haji Indonesia secara keseluruhan.
Namun, keuntungan tersebut datang bersama dengan tanggung jawab dan kemungkinan kerugian. Kritik terhadap sistem dan proses yang belum sempurna merupakan bagian dari risiko yang harus dihadapi oleh Kemenag. Namun, inilah imbalannya—bahwa keberhasilan yang dicapai juga merupakan hasil dari kesiapan menanggung risiko dan kerugian. Di sinilah kritik dari Pansus Haji DPR RI perlu ditempatkan sebagai bagian dari upaya konstruktif untuk meningkatkan keuntungan bersama, bukan sebagai alat untuk mengecilkan upaya dan komitmen yang telah ditunjukkan oleh Kemenag.
Dedikasi Tanpa Henti dari Jajaran Kemenag
Dedikasi seluruh jajaran Kemenag di lapangan patut diapresiasi. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja di balik layar, memastikan setiap jemaah dapat menjalankan ibadah dengan aman dan nyaman. Namun, apakah kita cukup menghargai upaya mereka? Apakah kritik yang dilayangkan konstruktif atau justru menimbulkan beban tambahan?
Testimoni positif dari jemaah menjadi bukti keberhasilan upaya Kemenag. Kenyamanan, keamanan, dan kemudahan yang dirasakan adalah hasil nyata dari komitmen mereka. Namun, di tengah segala pencapaian ini, kritik tetap ada sebagai bagian dari dialog konstruktif. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa kritik tersebut menjadi masukan yang membangun, bukan sekadar penurunan moral?
Sebagai masyarakat, kita dihadapkan pada pilihan untuk melihat sisi terang dan gelap dari setiap pelaksanaan haji. Kritik dari Pansus Haji DPR RI adalah bagian dari mekanisme pengawasan yang sehat dalam demokrasi kita. Namun, mari kita seimbangkan dengan apresiasi terhadap upaya dan pencapaian yang telah diraih. Transformasi dan inovasi membutuhkan waktu, kesabaran, serta kerja sama dari semua pihak terkait.
Ajakan untuk Refleksi dan Diskusi Konstruktif
Akhirnya, mari kita gunakan momen ini untuk merenungkan bersama. Bagaimana kita bisa berkontribusi dalam menciptakan penyelenggaraan haji yang lebih baik? Bagaimana kita bisa menghargai upaya tanpa menutup mata terhadap kritik yang membangun? Dengan saling menghormati dan bekerja sama, kita dapat memastikan bahwa setiap jemaah haji merasakan kenyamanan dan keselamatan yang maksimal.
Mari kita buka ruang diskusi, bukan hanya untuk mengkritik, tetapi untuk membangun masa depan penyelenggaraan haji yang lebih baik dan lebih manusiawi. Karena pada akhirnya, keberhasilan ibadah haji adalah keberhasilan kita bersama.(*)