PIJARNEWS.COM — Akhir Ramadhan bagi umat muslim adalah momen yang ditunggu-tunggu karena menjadi sarana peningkatan nilai spiritualitas diri dari penggodokan selama sebulan.
Tak berlebihan jika umat Islam termasuk di Kota Parepare begitu bersukacita menyambut hari kemenangan itu. Kemenangan seakan menjadi gol karena mereka yang berpuasa telah berhasil melewati ujian serta perjuangan berat menahan lapar dan dahaga dari terbit hingga tenggelamnya matahari selama satu bulan penuh.
Namun, sejatinya benarkah kemenangan dari orang-orang yang berpuasa (shoim ) terwujud dengan gambaran seperti itu? Saat orang-orang yang bersukacita dan bahagia berlebaran dengan baju baru, namun di saat yang sama kita lihat sebagian keluarga yang lain justru tengah kebingungan. Mereka tak tahu harus mengais rezeki di mana karena sistem ekonomi yang tak berpihak pada mereka akibat arogansi dan kesewenangan. Wakil Walikota Parepare Faisal Andi Sapada mengulas hikmah Idul Fitri dari perspektifnya;
“…Saat yang lain tertawa senang mengenakan pakaian terbaru saat lebaran, di sisi lain kita lihat orang-orang yang tak bisa makan sekadar burasa atau daging ayam karena harga-harga belanjaan melonjak tak keruan.
Kalau demikian, untuk apa makna kemenangan diraih kalau hanya masih menumbuhkan kezaliman, kemiskinan, penderitaan, kesengsaraan, keserakahan, kesewenangan, penyuapan, diskriminasi, dan korupsi? Patut kiranya kita perlu kembali sejenak mengurai makna puasa untuk dikorelasikan dengan hakikat kemenangan dalam kerangka kemaslahatan pada Idul Fitri kali ini.
Satu bulan penuh berpuasa hakikatnya kita tak sekadar menahan makan dan minum. Puasa adalah ruang jeda, refleksi, dan tempat kita melatih jiwa dan raga untuk menjadi pribadi mulia (insan kamil). Dengan tidak menjejali badan kita dengan makanan dan minuman sejenak, ada ruang introspeksi (muhasabah) yang kemudian diikuti cara berpikir yang tenang dan jernih.
Dengan sekali niat berpuasa, kita hakikatnya juga meneguhkan menjadi pribadi yang jujur tanpa pretensi pencitraan maupun imbal balik, kecuali hanya berharap mendapat rida dari Allah SWT. Yang lebih penting berpuasa juga melatih kecerdasan sosial dan rasa kasih sayang terhadap sesama yang rasa-rasanya hal ini sulit muncul di luar Ramadan.
Menjadi pribadi mulia, berpikir jernih, jujur, bertindak disiplin, toleran (tasamuh) dan menebarkan kasih sayang terhadap sesama adalah menjadi kewajiban kita sebagai makhluk di dunia (khalifatu fil ardi), tentu tak terbatas hanya pada bulan Ramadan atau dilaksanakan oleh seorang pimpinan.
Manusia yang kembali fitri (suci) pada hari kemenangan dan keberuntungan ini, adalah mereka yang mau dan mampu memetakan persoalan lingkungannya dan mencarikan solusi yang terbaik demi kemaslahatan bersama.
Di sinilah kita melihat bahwa kesalehan individual dan sosial adalah hal yang harus saling mengisi dan tak bisa dipisahkan. Puasa muaranya adalah mendapatkan derajat ketakwaan komprehensif, tak sekadar ritual dan rutinitas. Tumbuhnya spirit pembebasan untuk mengikis sifat-sifat buruk individu maupun persoalan sosial kemasyarakatan adalah bagian implementasi riil makna ketakwaan.
Spirit pembebasan ini juga relevan untuk jadi pedoman para pemegang kebijakan atau kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar tak terus menerus saling bertentangan dan terkesan saling menjungkalkan.
Karena itu, kembali ke fitrah adalah bermakna ada kerelaan untuk bersama-sama membuka lembaran baru demi mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa.
Selamat Idul Fitri 1438 Hijriah. Mari bersama-sama (Sibawaki) menjadi orang-orang yang kembali bersih dari segala kekotoran.
Laisa al-‘id liman labisa al-jadid, walakina al-‘id liman thaa’atuhu yazid…”
Ir. H. Ahmad Faisal Andi Sapada, SE., MM.