MAKASSAR, PIJARNEWS.COM--Aiptu Bahrun personel Polsek Manggala di kota Makassar, seorang polisi yang dikenal tegas namun penuh belas kasih, dihadapkan pada pilihan sulit saat ia berurusan dengan Hamzah (Anca), seorang murid SMA yang terjebak dalam kenakalan remaja.
Om Bahrun biasa saya memanggilnya, mempertimbangkan apakah Anca hanyalah produk dari lingkungannya atau justru pencipta dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.
Namun, di mata Om Bah, meskipun Anca telah memilih jalan yang keliru, masih ada potensi kebaikan yang belum sepenuhnya hilang. Tanggung jawab Om Bahrun bukan sekadar menghukum, tetapi juga menyelamatkan.
Dalam menangani kasus Anca, Om Bahrun tidak hanya mengikuti aturan yang kaku. Ia memahami bahwa setiap tindakan Anca adalah hasil dari rasa frustrasi dan kebingungan yang lebih besar, sebuah respons terhadap dunia yang tidak banyak memberi pilihan bagi mereka yang muda dan kurang beruntung.
Om Bahrun mendekati kasus ini dengan penuh kemanusiaan, berusaha membangun hubungan dengan Anca bukan untuk menundukkannya, melainkan untuk membantunya melihat jalan yang berbeda.
Dia mengumpulkan bukti tidak hanya dari kenakalan Anca, tetapi juga dari latar belakang kehidupannya, memperlihatkan bahwa kenakalan hanyalah gejala, bukan akar masalah.
Selasa pagi (8/10/2024) Om Bahrun dengan setelan jaket jeans, tiba di sekolah Anca di seputaran area Antang dengan langkah mantap. Di ruang Bimbingan dan Konsultasi, ia diterima oleh Guru BK, seorang bapak yang sudah lama mengabdi, matanya mencerminkan keletihan setelah bertahun-tahun menghadapi murid-murid bermasalah.
“Anca anak yang cerdas,” katanya dengan nada penuh ironi. “Tapi belakangan ini, dia semakin sulit dikendalikan.”
Guru BK mulai merinci pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Anca: sering membolos, terlibat perkelahian dengan teman-temannya, dan diduga ikut serta dalam kegiatan geng motor di luar sekolah.
Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seakan menjadi beban tambahan di pundak Om Bahrun. Namun, ia mendengarkan semuanya dengan tenang, tanpa menunjukkan tanda-tanda penghakiman, setiap detail merupakan petunjuk menuju gambaran besar tentang siapa Anca sebenarnya.
Setelah mendengarkan semua penjelasan, Om Bahrun menatap langsung ke mata Guru BK.
“Saya tidak di sini untuk menghukum Anca. Saya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?” tanyanya dengan penuh perhatian.
Guru BK terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Anca mungkin merasa dikekang oleh keluarganya” Kata-kata itu menggema dalam pikiran Om Bahrun, seperti jendela yang sedikit terbuka, mengungkap luka yang lebih dalam di balik perilaku Anca.
Sejenak, Om Bahrun menatap langit-langit ruang Bimbingan dan Konsultasi, mengenang masa-masa ketika ia berada di bangku yang sama tiga puluh tahun lalu.
Sekolah ini terasa berbeda namun tetap akrab baginya.
“Saya pernah berada di sini dulu,” katanya pelan. “Saya tahu betapa sulitnya berada di tempat seperti ini, di usia seperti Anca.”
Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Guru BK dengan nada tegas namun hangat.
“Saya berjanji akan memberi perhatian khusus pada kasus Anca. Saya tidak akan hanya melihatnya sebagai pelanggar aturan, tetapi sebagai seseorang yang membutuhkan bantuan, seperti kita semua pernah membutuhkannya.”
Dua jam berselang, Guru BK mengantarkan Anca bertemu Om Bahrun di ruangan kantor Polsek Manggala.
Suasana ruangan yang sederhana dan dingin itu seakan membekukan ketegangan di antara mereka. Anca duduk dengan canggung di kursi berdampingan dengan Om Bahrun, tatapannya terfokus ke lantai, menghindari kontak mata.
Om Bahrun, dengan sikap tenang dan penuh wibawa, mulai membuka percakapan dengan nada yang lembut namun tegas.
“Anca,” ujar Om Bahrun perlahan, “Saya bukan di sini untuk menghakimi atau menghukum kamu. Saya hanya ingin memahami apa yang sedang kamu hadapi,”
Anca terdiam sejenak, bahunya terlihat sedikit menegang, namun kata-kata Om Bahrun tampaknya menembus lapisan pertahanan emosinya.
Ia masih ragu untuk berbicara, tapi ada sedikit percikan harapan dalam ekspresinya, bahwa mungkin, seseorang benar-benar peduli dan ingin mendengarnya.
Dengan perlahan, Anca mengangkat pandangannya dan menatap Bahrun. Meski penuh ketakutan, ada ketulusan yang mulai terlihat. Sesaat itu terasa seperti awal dari sebuah perubahan besar dalam hidup Anca, sebuah momen di mana ia mungkin akan mulai membuka diri dan membiarkan kebaikan yang lama tersembunyi di dalam dirinya bersinar kembali.
Respons Anca terhadap pendekatan Om Bahrun awalnya penuh dengan keraguan dan ketidakpercayaan.
Anca sulit menerima bahwa seorang polisi seperti Om Bahrun benar-benar peduli padanya, bukan hanya soal pelanggaran yang ia lakukan.
Pada awal pertemuan mereka, Anca lebih sering bersikap defensif, menutup diri, dan menyimpan rasa marah serta frustrasi di dalam hatinya.
Namun, beberapa jam berselang, perlakuan manusiawi Om Bahrun mulai menggerus dinding ketidakpercayaan yang dibangun Anca. Ketika Om Bahrun terus mendengarkan tanpa menghakimi dan memberikan dukungan tanpa syarat, Anca perlahan-lahan mulai membuka dirinya.
Meski masih ada rasa takut dan ketidakpastian, Anca mulai melihat Om Bahrun bukan lagi sebagai sosok otoritas yang harus dilawan, tetapi sebagai seseorang yang sungguh-sungguh peduli.
Pertemuan itu diakhiri dengan Anca menulis sebuah surat pernyataan, tangannya gemetar saat pulpen menyentuh sebuah buku tebal, namun ada keteguhan yang perlahan tumbuh dalam dirinya.
Dalam surat itu, Anca berjanji untuk memperbaiki diri, meninggalkan semua bentuk kenakalan yang pernah menjeratnya serta konsekuensi yang harus dihadapi apabila dilanggar.
Saya turut menandatangani surat tersebut sebagai saksi, menyaksikan momen di mana seorang pemuda yang menemukan harapan baru. Om Bahrun, dengan senyum tipis penuh harapan, seakan memberikan simbol bahwa ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang menuju perubahan.
Di ruangan Polsek Manggala yang sederhana itu, lahir sebuah kesepakatan yang lebih dari sekadar kata-kata di atas kertas, sebuah komitmen akan kesempatan kedua bagi Anca. Kesempatan kedua yang diberikan tidak hanya mengubah pandangannya, tetapi juga membuka pintu untuk masa depan yang lebih baik, Insya Allah.
Citizen Reporter: Adekamwa
(Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi 23’ Unhas)