OPINI — Jajaran kepolisian resort Parepare, Sulawesi Selatan, berhasil menangani 83 kasus narkoba, dengan 157 tersangka dalam kurun waktu dua tahun, atau dari tahun 2016-2017. Dalam penanganan kasus narkoba itu, Polisi telah menyita sedikitnya 40 kilogram (kg) narkoba jenis sabu. Selain barang bukti sabu, polisi juga menyita 143 gram ganja dan 3,1 gram tembakau gorilla.
Kasus terbaru, Polsek Kawasan Pelabuhan Nusantara (KPN) bersama Satuan narkoba Polres Parepare, sukses mencegat dua penumpang KM Thalia di Pelabuhan Nusantara. Mereka kedapatan membawa 5 kg sabu. Bukan hanya warga sipil yang diciduk, tetapi dari hasil pengembangan kasus, ternyata ada oknum polisi berpangkat Brigpol, berinisial HB dan tahanan di Rutan Sidrap yang diduga pemesan barang haram itu. Tak hanya Brigpol HB, namun pada kasus sebelumnya juga ada sederet oknum anggota Polres Parepare juga terlibat dalam kasus yang sama.
Jika kita asumsikan 40 kg sama dengan 40 ribu gram sabu, dan pergramnya dikonsumsi oleh 4 orang, maka ada 160.000 orang yang terselamatkan dari bahaya narkoba selama kurun waktu dua tahun.
Dalam konteks pencegahan narkoba, akhir-akhir ini Polres Parepare telah menunjukkan kinerja yang tergolong bagus dalam memutus mata rantai jaringan narkoba.
Kendati sudah berhasil mencegah peredaran narkoba, namun hingga saat ini Kota Parepare, seakan masih menjadi pintu gerbang dalam upaya penyelundupan barang haram ini. Kondisi geografis laut kita yang terbuka menjadi masalah besar dalam upaya penyelundupan narkoba.
Dari hasil pengungkapan sabu di Parepare, barang haram itu umumnya bersal Tawau Malaysia, diselundupkan via jalur darat di sepanjang perbatasan Tarakan dan Nunukan, Kalimantan Utara. Para kurir kemudian mengantarnya melalui jalur laut hingga mereka berlabuh di pelabuhan Nusantara Parepare. minimnya infrastruktur seperti peralatan X-ray diduga menjadi sebab para pelaku kejahatan narkoba bisa leluasa dan menjadikan Parepare menjadi wilayan zona merah peredaran narkoba.
Tingginya jumlah konsumen dan disparitas harga yang tinggi menjadi rangsangan besar bagi para pebisnis narkoba untuk memasarkan produk haram itu. Harga pasar sabu di Indonesia lebih dari dua kali lipat lebih tinggi dibanding Malaysia misalnya.
Ekspektasi atau harapan besar kita, tentu kinerja yang ditunjukkan oleh jajaran Kepolisian Resort Parepare, juga bisa didukung oleh institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan, Pengadilan, serta lembaga pemasyarakatan (lapas).
Yang menjadi catatan penting dalam upaya pemberantasan narkoba di Parepare adalah, masih saja ada kasus narkoba yang berpolemik. Sorotan tajam mengarah kepada institusi penegak hukum di Kota ini pasca bebasnya tersangka IR (16) kurir narkoba 1,6 kilogram yang diringkus beberapa waktu lalu oleh Polres Parepare, namun dengan dalih habisnya masa tahanan tersangka, ia pun dilepaskan. Kasus lainnya adalah kaburnya narapidana kasus narkoba dengan vonis 10 tahun penjara, yakni Fendy alias Fen, umur 40 yang hingga kini belum diketahui rimbanya. Jika dua kasus ini tidak tertangani dengan baik, maka tentu bisa menyambung mata rantai kejahatan narkoba, sebab tidak ada jaminan mereka tidak akan bergelut kembali dengan dunia haram itu.
Tentu upaya pencegahan harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah, segmented, dan berdasarkan persoalan-persoalan khusus karena tiap daerah mempunyai persoalan narkoba yang berbeda (local minded). Misalnya upaya pencegahan di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di sepanjang perbatasan darat Kalimantan, maka model pencegahan menjadi berbeda dengan persoalan narkoba di daerah lain seperti di Parepare.
Upaya pencegahan menjadi berbeda dan bergantung objek pencegahan tersebut. Situasi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, lokasi, atau kelompok komunitas harus dilihat sehingga program tepat sasaran. Indikator keberhasilan program pencegahan juga harus dilakukan agar program menjadi lebih terukur dan tepat sasaran.
Semua unsur sangat diharapkan memiliki peran dalam pencegahan narkoba ini, seperti unsur Kepolisian, Kejaksaan, lembaga Pengadilan, lembaga pemasyarakatan, institusi pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, atau pondok pesantren bukan hanya harus bebas narkoba, melainkan juga menjadi partner aktif dalam upaya mencegah kejahatan luar biasa ini, sehingga komitmen untuk memberantas narkoba bukan hanya di atas kertas.