Oleh :
Dewi Arum Pertiwi
(Aktivis Dakwah)
Teknologi dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu era digital di mana pada kondisi ini, aktivitas manusia secara global tidak lepas dari yang namanya perangkat digital dan internet.
Dari survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2022, dari perincian yang dilakukan oleh APJII 99,16% pengguna internet adalah remaja usia 13—18 tahun; 98,64% usia 19—34 tahun, dan 87, 30% usia 35—54 tahun.
Belum selesai dengan fakta bahwa sebagian pengguna internet adalah usia remaja, kita juga berhadapan dengan fenomena sebuah gelombang besar dari game online dan tren Kpop yang siap menghantam terutama remaja dan mahasiswa yang masih mencari potensi diri dan belum memiliki kontrol diri yang kuat.
Pemuda dalam Arus Digitalisasi
Mengingat pengguna internet juga sebagian besar adalah remaja dan menjadikan mereka peluang. Karena kelabilan emosi, pencari potensi dan senang dengan hal baru serta tantangan membuat mereka memiliki kemampuan yang cepat menyerap perkembangan teknologi. Hal ini dimanfaatkan oleh negara adidaya yang kini menguasai banyak teknologi sebagai sasaran pasar yang menjanjikan.
Dengan berbagai macam produk berbasis internet salah satunya adalah game yang menarik dan diminati oleh remaja sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk memainkannya selama berjam-jam dan bahkan rela membeli fitur-fitur game yang ditawarkan dengan harga yang fantastis.
Dengan tampilan visual yang menakjubkan, narasi dan mekanisme game yang menarik, sudah menjadi kebiasaan yang memengaruhi kehidupan sehari-hari remaja. Mereka terpesona akan kemampuan menjelajahi dunia virtual yang berbeda, membangun keterampilan dan strategi, dan berinteraksi dengan pemain lain dari seluruh dunia.
Dunia game online memberikan penawaran yang menarik dan dapat digunakan untuk mengekspresikan diri, mengembangkan keterampilan, bahkan membangun persahabatan dengan orang-orang yang memiliki kesamaan minat.
Sehingga tanpa sadar kelabilan mereka membuat rentan terhadap kecanduan game online, fenomena ini menghilangkan potensi intelektual sebagai generasi. Tata kelola yang serba kapitalistik hanya akan membajak potensi berharga pada diri pemuda.
Gelombang ide-ide sekuler dan liberal yang di aruskan melalui digitalisasi akan sangat berpotensi menghilangkan identitas para pemuda muslim. Dan juga ide-ide kebebasan dengan gaya hidup hedon juga akan mudah kita dapati melalui arus digitalisasi.
Narasi dan konten naratif sering kali mempengaruhi pemuda muslim untuk terus mengikuti trend sehingga seringkali mempengaruhi pola pikir dan cara pandang mereka. Narasi yang berbau islamofobia serta sikap kontra terhadap narasi Islam kafah, dakwah syariat dan Khilafah juga kerap dipromosikan, hal ini merupakan akibat dari arus digitalisasi ini. Hal ini juga di gunakan oleh berbagai media mainstream untuk melabeli citra buruk ide-ide tersebut. Tidak hanya itu pada platform media sosial juga seringkali memblokir konten dakwah Islam dengan berbagai tuduhan tidak berdasar. Alhasil banyak kaum muda menjadi tidak mengenal Islam dan semakin jauh dari Islam.
Ditambah lagi serangan pemikiran dan budaya asing makin menjamur dikalangan pemuda muslim dan muslimah, tren fasion, makanan,bahasa,idola bahkan kerap dicitrakan sebagai sesuatu yang estetik. Gaya hidup permisif ala budaya asing sampai perilaku konsumtif yang berlebihan, transfer pemikiran yang liberal yang seringkali disampaikan oleh tokoh-tokoh influencer yang dikagumi para pemuda, menjadi hal biasa dan begitu dekat dengan mereka. Kondisi inilah yang membahayakan para pemuda – pemuda muslim karena mengancam identitas keislaman mereka.
Butuh Sistem Sahih Demi Menyelamatkan Generasi
Sebenarnya digitalisasi ini hanyalah produk atau alat yang sifatnya bergantung dari tujuan penggunanya. Jadi pengaruh dari arus digitalisasi ini sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan oleh suatu negara. Ini karena kebijakan serta prosedurnya berasal dari kebijakan negara.
Jika sistem yang digunakan adalah sekuler kapitalis di mana menjadikan materi sebagai tujuan hidup, maka digitalisasi akan dipandang sebagai alat untuk mengejar materi. Sehingga di dalam penggunaannya juga akan diterapkan prinsip kebebasan. Tidak heran jika berbagai perangkat digital hanya digunakan untuk mencari keuntungan dan kesenangan tanpa ada unsur keimanan.
Berbeda halnya jika sistem Islam diterapkan. Di dalam islam memandang bahwa segala sesuatu bukan tujuannya adalah materi tetapi dengan tujuan menggapai ridha Allah semata dan harus dengan menghadirkan kesadaran akan hubungannya dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Sehingga digitalisasi juga akan digunakan hanya untuk mengumpulkan amal salih demi meraih rida-Nya. Memanfaatkannya juga dengan selalu senantiasa terikat dengan syariat-Nya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peran dari negara dengan penerapan sistem sahih untuk menjaga agar arus digitalisasi ini tidak keluar jalur dan tidak merusak fitrah dan identitas pemuda sebagai penerus generasi.
Pemuda harus menyadari hal berbahaya yang dapat mengikis atau menghilangan identitasnya sebagai sseorang muslim dan segera berlepas diri dari jeratan digitalisasi yang mengikat potensi dan merusak identitas diri, dan mengganti dengan melibatkan diri dalam perjuangan membangkitkan sistem sahih yaitu sistem Islam kaffah (penerapan aturan Islam secara menyeluruh). (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan